Cerpen: Pengusung Nasi Sedekah

Posting Komentar

 

nasi sedekah
dokpri Mbak Alin Syamsuddin

 Malam ini, Titin kembali berselancar di dunia maya. Tiba-tiba, netranya berkonsentrasi membaca status dari seorang tetangga lama. Hatinya sedikit terusik. Selang beberapa menit, Titin menghubungi pemilik status tersebut.

 [Assalamualaikum. Mbak Endah besok pagi di rumah enggak?]

 Pesan menggantung. Sudah hampir satu jam tak ada balasan.

 [Waalaikumussalam. Insyaallah besok pagi di rumah. Gimana, Neng? Ada yang bisa Mbak bantu?]

 [Oh. Kalau begitu, aku mau ke rumah Mbak Endah besok pagi, boleh?]

 [Boleh banget. Sudah tahu rumah Mbak?]

 [Belum. Serlok, ya, Mbak.]

 [Ok.]

 Tak lama kemudian, sebuah pesan berisi maps mampir di gawai Titin.

 ***

 Hari masih terlalu pagi, mentari pun belum menampakkan dirinya. Titin segera beranjak menyusuri jalanan kota menuju rumah Mbak Endah. Hanya dengan bermodalkan serlok yang diterimanya semalam. Ini pertama kalinya Titin berkunjung ke rumah baru Mbak Endah yang pindah sebulan lalu.

 Titin berhenti di salah satu rumah yang sebelumnya sudah diidentifikasi Mbak Endah. Ragu-ragu, dia mengambil gawai dari dalam tasnya, berusaha menghubungi perempuan yang sudah lima belas tahun dikenalnya itu. Namun, sinyal tak cukup kuat, meski tempat dia berhenti sekarang tepat di titik maps yang Mbak Endah berikan.

 Pintu rumah terbuka. Perempuan paruh baya itu keluar sembari tersenyum pada Titin. “Hei ... ayo masuk. Aku tungguin, motor sudah mati dari tadi, kok enggak masuk-masuk.”

 “Takut salah, Mbak. Ini baru ku-WA tapi enggak masuk,” kata Titin sambil memasukkan kembali gawainya ke dalam tas.

 “Di sini susah sinyal, Neng. Sering kabur,” ujar Mbak Endah, “motornya dinaikin ke teras saja.”

 Titin kembali menstarter motor matiknya, naik ke teras depan rumah. Di sana sudah ada dua motor yang dijajar rapi. Dia mengucapkan salam, lalu masuk mengikuti langkah si empunya rumah.

 “Kenalin, ini Mbak Iinzhafira yang setiap hari bantuin bungkus nasi sedekahnya.” Mbak Endah menunjuk perempuan seusianya yang sedang duduk di sofa sembari membungkus nasi beserta lauk pauknya ke dalam kertas minyak.

 Titin dan Mbak Iin saling berpandangan, kemudian sama-sama tersenyum.

 “Yuk, duduk!” Mbak Endah mempersilakan Titin duduk di karpet ruang tamu.

 Titin mengamati rumah baru Mbak Endah yang belum di-finishing. Dinding masih berupa bata merah yang tersusun rapi di atas tumpukan batako putih. Terdiri dari tiga kamar tidur, ruang tamu menyatu dengan ruang tengah tanpa sekat. Lantai masih semen halus dan langit-langit rumah beratap asbes. Rumah impian hasil tabungan Mbak Endah selama bertahun-tahun.

 “Alhamdulillah, akhirnya sampai sini juga, Neng. Maaf, ya, kalau kondisi rumahnya masih berantakan,” kata Mbak Endah.

 “Titin yang senang. Mbak Endah mau meluangkan waktu di tengah kesibukan yang luar biasa.”

 “Haha ... Mbak yang menyibukkan diri, Neng. Mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat. Mbak bisanya masak, jadi sedekahnya dengan cara seperti ini. Gimana, ada yang bisa Mbak bantu?” tanya Mbak Endah.

 Titin membuka tas, mengambil sebuah amplop putih, kemudian diberikan pada Mbak Endah. “Ini, Mbak. Aku titip buat sedekah nasinya. Enggak seberapa, tapi semoga berkah.”

 “Alhamdulillah, semoga kita bisa sama-sama istikamah, ya. Mbak enggak menyangka, semakin banyak yang bergabung. Padahal awalnya cuma sebungkus sehari. Mbak muter-muter nyari orang yang memang pantas dibantu,” ujar Mbak Endah.

 Titin tahu perjuangan Mbak Endah. Lima belas tahun yang lalu, ketika dia mulai menetap di sebelah rumah Mbak Endah. Kala itu, Mbak Endah masih ikut orang tua bersama kedua anaknya.

 Jatuh bangun Mbak Endah memulai usaha demi anak-anaknya. Mulai dari membantu menjual barang dagangan milik teman, membuat roti dan nugget. Apa pun Mbak Endah lakukan yang penting halal. Usaha yang dibangunnya tidak hanya mencari keuntungan semata, tetapi atas dasar kemanusiaan.

 “Apa lagi yang mau dicari dalam hidup ini, Neng. Di usia Mbak sekarang, membantu sesama itu lebih utama. Neng bisa lihat sendiri, insyaallah kehidupan Mbak sekarang lebih berkah. Alhamdulillah, anak-anak sudah dewasa. Ola sudah menikah seminggu yang lalu. Sekarang tinggal Mbak sama Putrie yang hampir selesai skripsi,” lanjut Mbak Endah.

 “Ola menikah kok aku enggak diundang, Mbak?” tanya Titin.

 “Sederhana saja kok, Neng. Tetangga kanan kiri depan belakang saja sudah cukup. Yang penting sah.”

 “Mas Frans datang, ‘kan, Mbak?” selidik Titin.

 “Alhamdulillah, dia bisa datang. Kan harus jadi walinya Ola. Habis itu langsung pulang lagi ke Bogor.”

 Titin enggan bertanya lagi tentang laki-laki yang meninggalkan Mbak Endah hampir dua puluh tahun yang lalu, ketika kedua anaknya masih balita. Di saat itu pula, perjuangan Mbak Endah sebagai orang tua tunggal dimulai. Kedua anaknya tumbuh mandiri, juga pintar. Alhasil, keduanya diterima di perguruan tinggi negeri di Semarang.

 “Nanti nasi bungkusnya ada yang mau ambil jam 6. Alhamdulillah, pagi ini kita bisa buat lima puluh bungkus. Nanti siang ada lagi,” kata Mbak Endah bersemangat.

 “Terus, yang terapi masih jalan, ‘kan, Mbak?”

 “Alhamdulillah, masih. Bahkan Mbak sekarang bisa rutin. Tiap Minggu pagi, Mbak ada di depan Radio Zenith Salatiga. Kapan-kapan ikut, yuk,” ajak Mbak Endah.

 Mbak Endah tidak pernah mematok harga untuk konsultasi dan terapinya. Bahkan, Mbak Endah sangat bahagia jika orang yang diterapinya menunjukkan hasil yang positif.

 “Mbak terapinya sama jualan madu. Ada madu hutan dan madu hitam. Jadi, kalau ada yang mau bayar terapi, Mbak suruh beli madunya saja.” Mbak Endah terkekeh.

 Sesaat kemudian, pintu salah satu kamar terbuka. Seorang gadis cantik berumur 22 tahun keluar.

 “Halo, Tante Titin. Maaf baru menyapa. Tadi Putrie lagi dandan,” sapa gadis cantik itu sambil mencium punggung tangan Titin.

 “Sepagi ini sudah mau berangkat?” tanya Titin.

 “Iya, Tan. Ada acara di kampus.”

 “Ya sudah. Hati-hati, ya. Jangan ngebut,” saran Titin.

 “Insyaallah, Tante. Bunda ... Adik berangkat dulu, ya.” Putrie menghampiri Mbak Endah, lalu mencium punggung tangannya.

 “Neng, kalau pulang jangan malam-malam, ya. Bunda kan sendirian di rumah.”

 “Iya, Bunda. Kalau acaranya sudah selesai, Adik langsung pulang. Dadah, Bunda,” seru Putrie keluar rumah dan segera berlalu dengan motornya.

 “Alhamdulillah, ya, Neng. Mbak diberi anak-anak yang insyaallah salihah. Ola baru saja wisuda dua bulan yang lalu, terus memutuskan menikah untuk beribadah. Suaminya punya tato besar di punggungnya, lho. Makanya, mertuanya sayang sama dia karena bisa mengubah sifat anak laki-lakinya. Putrie juga enggak neko-neko.”

 “Itu semua karena didikan Mbak Endah,” ujar Titin seraya tersenyum.

 “Betul itu.” Mbak Iin ikut menyahut.

 “Mbak Endah adalah bunda impian. Tak banyak, lho, perempuan yang bisa seperti Mbak. Mampu menyeimbangkan antara keluarga dan sosial. Apalagi untuk Ola dan Putrie. Mereka sudah melihat perjuangan yang Mbak lakukan sejak mereka masih kecil. Menjadi ibu sekaligus ayah. Peran yang kadang sulit dijalani bagi orang lain. Mbak juga punya jiwa sosial yang tinggi. Senang menolong tanpa pamrih. Itu yang membuat rezeki selalu mengalir,” lanjut Titin.

 "Alhamdulillah, semoga semua berkah dan dilancarkan," kata Mbak Endah.

"Aamiin."

*

Ugr, 200419

#EventKartini_BK

Related Posts

Posting Komentar