Cerpen: Kado Kejutan dari Mama Papa

Posting Komentar

 Kado Kejutan dari Mama Papa


   Sinar mentari mulai menyapa kulit tanganku di pagi ini. Terasa hangat hingga membuatku betah berlama-lama disentuhnya. Mataku menyipit, menatap silau cahayanya yang masuk lewat jendela kamar, di lantai dua rumah mewah ini.

   Kusingkirkan selimut tebal yang semalam melindungi tubuh dari dinginnya hujan. Duduk di tengah peraduan sambil menggerakkan tulang bagian atas.

   Kemudian, aku melangkah menuju jendela, membuka pengunci hingga membiarkan udara segar memenuhi seluruh kamar. Seketika itu pula, kehangatan menggerayang ke seluruh tubuh.

   Pandanganku mengedar ke taman belakang. Tampak kenangan masa kecil di sana, saat Mama dan Papa masih sering menemaniku bermain. Ya, aku rindu masa itu!

   Kubalikkan badan, menatap kembali kamar hampa ini. Hampir sepuluh tahun, suara Mama dan Papa tak lagi terdengar di sini. Untuk sekadar menceritakan dongeng ataupun berbagi kisah denganku.

   Sesaat kemudian, ponselku berbunyi. Terlihat gambar seseorang dari kotak pipih itu. Piyan, sahabatku sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama.

   “Hai, Bro. Selamat ulang tahun, ya. Makan-makan, dong.”

   Aku terkekeh. “ThanksBro. Boleh-boleh, nanti kita makan di tempat biasa setelah pulang sekolah, ya.”

   “Oke. Buruan berangkat, keburu telat.”

   “Siap, Bos.”

   Sambungan telepon terputus. Aku bergegas mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi, menyegarkan diri sebelum turun ke ruang makan. Berharap bisa bercengkerama sebentar dengan Mama dan Papa.

   Mama dan Papa belum tampak ketika aku sudah berada di depan meja makan. Roti tawar putih dari tukang roti langganan sudah tersedia di sana, berdampingan dengan beberapa selai. Menu sarapan yang sama di hampir sepuluh tahun ini.

   Mama keluar dari kamarnya ketika aku mulai mengunyah roti selai cokelat. Dia tampak rapi di hari Sabtu ini.

   “Lembur lagi, Ma?” tanyaku seperti biasa di tiap akhir pekan.

   “Iya, ada rapat penting di luar kantor. Mama harus bergegas. Kalau ada apa-apa, telepon Mama.” Terucap kata-kata yang sama setiap harinya.

   “Enggak sarapan dulu, Ma?”

   “Mama sudah telat. Mama pergi dulu, ya.” Suara high heels-nya terdengar mengentak cepat dan menggema di ruangan ini.

   “Hari ini aku ulang tahun, Ma!” seruku.

   Mama menghentikan langkahnya. Sejenak berbalik badan. “Oh, iya. Selamat ulang tahun, Sayang. Kasih tahu Mama, kamu mau hadiah apa. Nanti Mama transfer. Sudah, ya.”

   Aku menelan pahit roti manis ini. Tak ada lagi pelukan dan kecupan hangat dari Mama sejak umurku delapan tahun. Hanya uang dan hadiah barang sebagai penggantinya.

   Tak berselang lama kemudian, Papa pun muncul. Menyeret salah satu kursi makan dan menemaniku sarapan.

   “Mama kamu sudah berangkat?” tanyanya sambil mengolesi roti tawar dengan selai.

   “Sudah, Pa. Barusan.”

   “Hari ini Papa pulang telat, ya. Kalau ada apa-apa, kabari Papa.”

   “Pa, hari ini Adit ulang tahun,” ucapku mengingatkan.

   “Berapa umur kamu sekarang?”

   “Delapan belas tahun, Pa.”

   “Ternyata anak Papa sudah dewasa. Tahun ini minta kado apa? Nanti Papa transfer, kamu bisa beli sendiri hadiahnya.”

   Aku terdiam sejenak. Mama dan Papa memberiku kalimat yang sama, membuktikan betapa banyaknya uang mereka.

   “Papa bisa kasih aku berapa?” Pertanyaanku sedikit mengagetkannya.

   “Kamu mau mobil Ferrari terbaru? Limited, lho. Papa bisa pesan satu untukmu,” katanya dengan senyum membanggakan diri.

   Lama-lama, aku mulai bosan dengan percakapan ini. Ujung-ujungnya, aku tetap akan mendapatkan materi seperti tahun sebelumnya.

   Tiba-tiba, ponsel Papa menggetarkan kaca meja makan. Sepertinya ada pesan masuk. Papa membacanya sambil tersenyum.

   “Papa pergi dulu. Ada urusan. Jangan lupa kasih tahu Papa tentang kado ulang tahunmu.” Papa menuju pintu samping yang terhubung dengan garasi, sama seperti yang dilakukan Mama tadi.

   Aku menyandarkan tubuh di kursi, mengingat Bik Minah yang tak pernah lupa ulang tahunku. Hampir satu tahun dia pergi dari rumah ini, meninggalkanku tanpa pesan.

***

   Aku mengajak Piyan ke resto cepat saji. Memesan beberapa menu yang sekiranya bisa muat di perut kami.

   “Kemarin aku lihat Indi jalan sama om-om, Bro. Enggak begitu jelas, tapi ... aku seperti mengenal perawakan lelaki itu.” Piyan membuka percakapan.

   Indi, teman SMA kami yang paling popular di sekolah. Banyak laki-laki yang menyukainya, termasuk aku.

   “Menurut kamu siapa? Pak Rudi, guru matematika itu?” tebakku sambil tertawa.

   “Bukan. Sepertinya yang ini lebih parah.”

   “Sudahlah, enggak usah ngomongin orang,” saranku. “Habis ini kita renang, yuk. Di hotel Ann.”

   “Keren. Kolam renangnya eksklusif, Bro. Hanya member yang boleh pakai.”

   Aku tersenyum sambil mengeluarkan kartu member dari balik dompetku.

***

   Hotel Ann sangat unik. Kolam renangnya berada di lantai paling atas, dengan sepertiga sisi kolam menjorok dan terbuat dari kaca yang transparan. Pemandangan kota tampak dari kolam ini.

   Malam bertabur bintang mulai menghiasi bumi. Aku dan Piyan masih di hotel ini, menikmati sajian makan malam kelas atas dari balkon resto.

   “Acara ulang tahunmu hanya seperti ini, Bro? Enggak keren banget,” gerutu Piyan.

   “Kamu berharap yang seperti apa? Pesta di klub malam lagi? Aku sudah bosan, Yan. Sebenarnya, malam ini aku hanya ingin berkumpul bersama keluargaku. Entahlah ... kenapa aku begitu menginginkannya.”

   Pandanganku mengembara ke dalam resto. Memandang satu per satu pengunjung. Tawa dan senyum bahagia mereka membuatku sedih. Aku ingin hal itu terjadi padaku malam ini. Namun aku sadar, itu tak akan pernah terwujud.

   Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat kukenal. Mama! Dia bersama seorang pria, sedang bercengkerama di sudut resto. Segera kudatangi mereka dengan hati yang mulai bergejolak.

   “Mama!” bentakku mengagetkannya.

   “Adit? Kamu di sini, Sayang?” Mama cepat-cepat melepaskan genggaman tangan pria itu.

   “Jadi, selama ini seperti ini kenyataannya, Ma? Mama lebih memilih pria ini daripada menghabiskan waktu bersamaku di hari ulang tahunku!”

   “Bukan begitu, Adit. Ini rekan bisnis Mama. Ada yang harus kami bahas di sini,” kilahnya.

   “Sudah jelas, Ma. Adit tak butuh penjelasan lagi!” Aku tergopoh meninggalkan resto diiringi langkah cepat Piyan di belakang.

   Hatiku meradang. Segera aku pencet tombol lift dari lantai sembilan hotel ini, menuju lantai dasar tempat motor sport-ku terparkir. Tak kupedulikan lagi kata-kata Piyan yang berusaha menenangkan.

   Sesaat kemudian, lift berhenti di lantai lima. Tampak sepasang manusia yang sangat kukenal lagi ketika pintu lift itu terbuka. Papa dan Indi! Lengan kanan Papa merengkuh mesra gadis yang kusukai. Indi membalasnya dengan senyuman.

   “Papa!” Aku berteriak emosi mendapatkan kejutan yang kedua.

   Mereka mengurungkan niat masuk ke lift itu setelah mendengar teriakanku. Buru-buru Piyan memencet tombol close, sebelum sempat kutarik pria hidung belang itu.

   “Apa-apaan, sih? Kamu enggak usah ikut campur urusanku!” Kedua tanganku mendorong bahu Piyan.

   “Tenang, Dit. Kamu bisa ditahan karena membuat keributan di tempat umum!” serunya.

   “Aku enggak peduli!”

   “Tapi aku peduli, Dit! Kamu temanku dan aku enggak mau kamu ditahan!”

   Pintu lift terbuka di lantai dasar. Aku bergegas menuju motorku. Suara mesin meraung-raung mewakili perasaanku.

   “Tunggu, Dit!” Piyan berlari mengejar motorku yang mulai keluar dari area hotel dengan kecepatan tinggi.

***

   Aku tiba di rumah lewat tengah malam. Aku segera menghempaskan badan di peraduan, lalu membenamkannya dalam selimut tebal.

   Sebuah sentuhan lembut yang membelai rambut, membuatku tersadar. Sentuhan yang sudah lama kurindukan dari tangan Bik Minah.

   “Bangun, sudah waktunya kita pergi,” ajaknya.

   “Aku rindu Bibi!” Kupeluk tubuh dinginnya.

   “Mulai sekarang, Bibi akan selalu menjaga Mas Adit. Ayo, turun, Tuan dan Nyonya sudah siap mengantar!”

   Kutatap seluruh sudut kamar ini untuk terakhir kalinya. Jendela besar tempat sinar mentari masuk, tak lagi dapat menghangatkan tubuhku.

   Aku turun ke ruang tamu. Banyak orang hilir mudik sambil memeluk Mama yang terus menangis. Usungan jasad itu telah dimasukkan ke dalam mobil ambulans, siap diantar ke peristirahatan terakhirnya.

   Aku berjalan di sisi Indi yang baru keluar dari rumahku. Piyan bergegas menyusul.

   “Gara-gara kamu, Adit meninggal karena kecelakaan maut semalam!” sungutnya dengan geram.

-selesai-


Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel.

Lomba Cerpen Ultah Gandjel Rel

Related Posts

Posting Komentar