Derita Isolasi Mandiri Akibat ODP Virus Covid-19

Posting Komentar

 Rumah singgah




Siapa, sih, yang pingin terpapar virus Covid-19? Aku yakin, pasti semua nggak akan ada yang mau. Tapi, kalo itu terjadi, apakah kita bisa menolak? Ah, udah sakit di badan, terkadang masih pula sakit di hati dan pikiran kalo baca status orang yang 'nylekit' tentang diri kita.

Banyak orang yang hanya tahu prosedur, tanpa mau memahaminya. Pasti kita sering dapat share-sharean tentang bagaimana penularan dan pencegahan virus Covid-19 ini. Tapi, apakah mereka paham betul penanganannya?

Nah, kali ini, aku mau sedikit curhat, meski ini bukan yang pertama kali kami alami. 

Mungkin ada beberapa pihak yang udah tahu kalo pada Maret 2020, di masa awal-awal merebaknya virus Covid-19, suamiku masuk ODP (Orang Dalam Pengawasan) karena kontak dengan 2 orang yang terindikasi virus tersebut. Bahkan saat itu, saudara kami yang terindikasi menjadi berita utama di daerah Tegal.

Oleh sebab itu, suami harus menjalani isolasi mandiri dengan embel-embel WFH. Selama 2 pekan, kami mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Dalam masa itu, suami tidak berangkat ke masjid sama sekali.

Setelah selesai masa isolasi dan suami tidak menunjukkan gejala terpapar virus Covid-19, dia berangkat lagi ke masjid dengan tetap mematuhi prokes. Tapi apa hendak dikata, tetap saja ada gunjingan yang membuat suami akhirnya tidak mau berangkat lagi ke masjid selama beberapa waktu. Semua hanya gara-gara status WA!

Belajar dari pengalaman tersebut, maka ketika putri sulung kami dinyatakan positif pada bulan Desember 2020 lalu, kami hanya lapor ke kantor dan bidan desa. Menurut pemahaman kami, pihak puskesmas yang nantinya akan memberi tahu Babinkamtibmas dan Ketua RT.

Dua hari setelah Sulung dinyatakan positif, kami anggota keluarga lain (aku, suami, Tengah, dan Bungsu) harus menjalani swab di puskesmas. Dan hasilnya baru diketahui 3 hari berikutnya. Alhamdulillah, negatif semua.

Selama masa itu, kami menjalani isolasi mandiri. Dan sepertinya, lingkungan tidak mengetahui hal tersebut. Mereka hanya mengira kami isoman karena pulang dari luar kota--jemput Sulung dan Tengah yang mondok di Yogyakarta.

Dari puskesmas pun, Sulung diperbolehkan isoman di rumah dengan menerapkan prokes: tidur di kamar sendiri dan kamar mandi sendiri pula, perlengkapan makan yang tidak boleh bergantian dengan anggota keluarga lain, tetap memakai masker, jaga jarak, dan sering-sering mencuci tangan. Tak lupa, menjaga mood dia biar tetap happy.

Alhamdulillah, atas koordinasi yang baik dengan pihak puskesmas, masa itu bisa kami lalui juga, tanpa harus berkorban perasaan. Hehe.

Qadarullah, Allah memberi kami kenikmatan lagi. Sepekan kemarin, suami mulai merasakan gejalanya. Badan menggigil panas dingin, batuk, penciuman menghilang, dan nafsu makan menurun. Dia langsung memintaku menyiapkan kamar sebelah untuknya tidur sendiri. Kami juga jaga jarak. Pokoknya sebisa mungkin sesuai prokes.

Hari Senin itu pula, suami ke dokter klinik. Sementara hanya diberi obat. Untuk rapid dianjurkan hari ke-4 setelah merasakan gejala. 

Kondisinya memang tak kunjung membaik. Di hari ke-4, dia rapid antigen dan hasilnya positif. Saat itu pula, dia langsung menyuruhku melakukan tes antigen bersama Bungsu--Sulung dan Tengah udah balik pondok. Alhamdulillah, hasil kami negatif.

Ternyata, suami memberi tahu Pak RT ketika dia meminta rujukan rumah singgah ke puskesmas. Berharapnya, sih, langsung dapat biar nggak usah pulang dan kontak dengan kami. 

Takdir berkata lain. Rumah singgah penuh semua. Suami diminta pulang dan isoman sambil menunggu dijemput. 

Permasalahan mulai muncul di sini. Sebelum suami, ada 3 warga yang terpapar dan segera dievakuasi ke rumah singgah. Sementara, suami yang pengurus, mengapa harus isoman? Mulailah status WA milik netizen bergentayangan.

Alhamdulillah, dengan berbesar hati dan kepala dingin, aku berusaha memberikan penjelasan. 

Ss chat di grup


Beberapa dari beliau hanya mendengar kisah-kisah orang lain yang terpapar, dengan ending yang kurang mengenakkan, tanpa mendalami ataupun memahami prosedur. Sampai di sini, siapa yang mau disalahkan? Pemerintah yang kurang mengedukasi atau warga yang kurang peduli?

Suami sampe stres memikirkan kami. Selama 2 hari pasca dinyatakan positif, dia nggak berhenti mencari kepastian mendapat rumah singgah. Alhamdulillah, akhirnya suami dapat telepon dari bidan desa, dan dijemput ambulans menuju rumsi.

Permasalahan tidak berhenti sampe di situ. Meski aku dan Bungsu udah negatif, ada beberapa warga yang menginginkan kami tetap isoman. Takutnya terinkubasi selama suami isoman 2 hari di rumah. Baiklah, manut. Aku perpanjang lagi selama 3 hari. Alhamdulillah kami nggak apa-apa. Bahkan Bungsu terlihat tambah sehat. 

Ah, aku berharap ini jadi isoman kami yang terakhir. Cukup sampe di sini saja. Sungguh berat bagi yang pernah mengalaminya. Kami hanya butuh kepedulian, bukan status WA yang menyudutkan! 

Related Posts

Posting Komentar