Cerpen: Kemerdekaan Harga Diri

Posting Komentar

 Harga diri



 Suasana sekitar rumah masih sepi, hanya terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari pengeras suara masjid, yang biasa diperdengarkan sebelum masuk waktu subuh.

 Rima baru saja selesai salat Tahajud di kamar. Gadis berumur lima belas tahun itu bergegas keluar, membantu ibunya di dapur. Sebuah ruangan di belakang rumah yang hanya berdinding gedek serta beralas tanah padat.

 “Donatnya banyak banget. Ada pesanan untuk hari ini, Mak?” tanyanya seraya duduk di depan baskom adonan donat.

 “Iya, Bu Entin pesen lima ratus biji buat acara di kantornya nanti siang.” Tangan Emak cekatan mengisi adonan donat itu dengan potongan pisang.

 “Kenapa enggak dibuat tadi malam, Mak? Buru-buru kalo jam segini,” ujar Rima yang tangannya tak kalah terampil.

 “Semalem Emak capek banget, Rim, habis bantuin beres-beres acara tirakatan. Ini udah dapet separo, kok.” Emak menghela napas sejenak. “Selesai upacara, tolong antar donat ini ke sana, ya?”

 Rima mengangguk. “Ya, Mak.”

 Lamat-lamat, terdengar lagu “Indonesia Raya” dari kamar depan.

 “Kayaknya, Simbah sudah bangun, Mak. Inget aja, kalo hari ini tanggal 17 Agustus.”

 “Lah, tiap hari juga simbahmu dengerinnya lagu-lagu nasional.” Emak terkekeh.

 Azan subuh berkumandang. Emak dan Rima bergegas menyelesaikan sisa adonan, lalu mengambil wudu dan berangkat ke masjid untuk salat berjemaah. Kemudian, mereka kembali menekuri adonan selepas pulang dari masjid.

 “Kamu enggak persiapan ke sekolah, Rim?”

 “Bentar lagi, Mak, masih ada waktu. Lagian, tinggal seadonan ini aja, ‘kan?”

 Emak mengangguk. “Nanti yang goreng Emak aja.”

 Cahaya kekuningan mulai berpendar dari ufuk timur. Rima beranjak ke kamar mandi, menyiapkan diri berangkat ke sekolah.

 Emak sudah selesai dengan donat-donatnya. Setelah ditata rapi di dalam kardus, Emak menyerahkannya pada Rima.

 “Hati-hati, ya, Rim. Jangan sampai telat ke kantornya Bu Entin. Donatnya sudah dibayar lunas.” Emak mengingatkan.

 “Insyaallah. Rima berangkat dulu.” Gadis itu mencium punggung tangan Emak.

 Pagi ini, jalanan terasa sangat padat. Meski di kalender tanggal itu berwarna merah, tetapi sebagian orang harus mengikuti upacara di sekolah dan instansi masing-masing.

 Bendera merah putih dan umbul-umbul menghias di sepanjang jalan, menambah semarak peringatan hari kemerdekaan bangsa ini.

 ***

 Upacara telah usai. Rima bergegas mengambil dua kardus berisi donat pesanan Bu Entin. Ia tampak terburu-buru, karena upacara di sekolahnya hari ini lebih lama dari biasanya. Gadis itu takut jika terlambat mengantar.

 Bruk!

 Satu kardus terjatuh di atas genangan air di depan kantor Bu Entin, ketika Rima baru saja turun dari angkot.

 “Aduh, gimana ini?” gumamnya lirih. “Semoga enggak kenapa-napa donatnya.”

 Rima berlari menuju gerbang kantor, segera menanyakan ruangan Bu Entin di pos satpam.

 Ia tiba di depan pintu ruangan itu tepat sebelum Bu Entin keluar. Napasnya terengah-engah.

 “Kok telat?” Suara Bu Entin nyaring dan menggelegar. Wajahnya tampak kecewa.

 “Maaf, Bu. Tadi upacara di sekolah saya sedikit lebih lama,” jawab Rima sambil menyeka peluh di dahi.

 “Sedikit gimana? Saya sudah nunggu dari tadi. Itu donat sudah ditanyain bagian konsumsi,” cerocos Bu Entin, perempuan setengah baya yang merupakan tetangga jauh Rima. “Mana donatnya?”

 “Ini, Bu.” Tangan Rima gemetar menyerahkan dua kardus itu.

 Dahi Bu Entin mengernyit. “Ini air apa, kok netes-netes?”

 “Hem … maaf, Bu, tadi jatuh di depan.” Rima menunduk.

 “Gimana, sih, udah telat, pake jatuh lagi! Saya sudah bayar lunas, lho!” pekik Bu Entin.

 “Maaf, Bu, maaf banget. Tapi itu enggak sengaja.”

 Bu Entin semakin jengkel. Ia menyuruh Rima membongkar kardus yang terjatuh itu. Kemudian, menghitung donat-donat yang basah.

 “Kamu itu, ya, udah miskin, enggak becus kerja lagi.” Bu Entin mengembuskan napas kekesalan. “Lumayan ini, ada empat puluh yang enggak bisa dimakan. Terus, gantinya gimana?”

 Suasana hening sejenak. Rima tampak berpikir apa yang bisa ia lakukan untuk mengganti donat-donat itu.

 “Saya bantu bersih-bersih, gimana, Bu?”

 “Bersih-bersih apa? Di sini sudah ada petugas kebersihannya!”

 Rima memejamkan mata, mencoba menghalau bulir bening yang merangsek keluar dari sudut matanya. “Suruh apa aja, deh, Bu, saya mau.”

 Bu Entin memandangnya dengan senyum menyeringai. “Baik, nanti siang kamu ke rumah saya. Ada cucian kering yang butuh disetrika.”

 “Iya, Bu.” Rima hanya mengangguk pelan.

 “Sudah, sana pergi!”

 Rima perlahan berlalu dari hadapan Bu Entin. Namun, suara gumaman itu mengusik hatinya.

 “Enggak jadi untung seratus donat, nih. Padahal udah janji mo nyumbang jajan buat acara tujuh belasan di RW nanti malam.”

 ***

 “Donatnya udah nyampe ke Bu Entin, Rim?” tanya Emak ketika Rima baru masuk rumah.

 “Sudah, Bu.” Rima menghempaskan pantat di kursi kayu yang hampir lapuk. Wajahnya tampak letih.

 “Makan dulu sana!”

 “Mak, tadi kardusnya jatuh kena air,” ujar Rima lirih.

 “Terus, enggak bisa dimakan semua?” Emak yang tadinya berdiri, kini duduk di hadapan Rima.

 Rima menceritakan semua kejadian di kantor Bu Entin tadi. Emak menghela napas, kemudian tersenyum.

 “Enggak apa-apa, Emak justru bangga sama kamu. Ternyata, anak gadis Emak ini orangnya jujur dan mau bertanggung jawab.” Emak membelai lembut kepala Rima yang masih terbalut jilbab.

 Rima mendongak, menatap lekat perempuan yang rela bekerja keras demi kehidupannya dan Simbah. “Maafin Rima, ya, Mak.”

 “Kamu kan enggak sengaja. Lain kali, hati-hati, ya.”

 Rima mengangguk sambil tersenyum.

 “Tapi, Mak, kenapa Bu Entin mengambil untung? Donatnya kena air aja, aku disuruh nyetrika. Seharusnya bisa diikhlasin, ‘kan, Mak?” tanya Rima penasaran.

 “Emak enggak tau. Mungkin sebagai uang jasanya sebagai perantara.” Emak terdiam. “Kita harus tetep sabar, Rim. Berdoa saja, semoga usaha ini membawa berkah.”

 “Aamiin.”

 “Sana makan! Emak udah nyiapin dari tadi.”

 ***

 Matahari hampir tenggelam di kaki langit. Semburat jingga mengiringi langkah Rima pulang dari rumah Bu Entin.

 Simbah sudah duduk di teras depan. Di atas dipan kayu beralas tikar usang, dengan segelas kopi panas, tembakau, dan lintingan rokok tersaji di sana.

 Rima mengucapkan salam dan mencium punggung tangan Simbah, lalu ikut duduk di atas dipan itu.

 “Kamu dari mana, tho, Nduk? Jam segini baru pulang.” Laki-laki berumur lebih dari delapan puluh tahun itu bertanya.

 “Dari rumahnya Bu Entin, Mbah,” jawab Rima.

 Simbah manggut-manggut, sambil sesekali mengisap bakaran tembakaunya.

 “Dulu, waktu Indonesia merdeka, Mbah masih berumur enam tahun. Belum paham merdeka itu apa. Taunya hanya orang-orang londo itu harus pergi dari tanah air kita. Semakin lama, Mbah baru menyadari.” Simbah kembali mengisap rokok, lalu perlahan menyembulkan asap tipis dari hidung dan mulutnya.

 “Menyadari apa, Mbah?” tanya Rima penasaran.

 “Menyadari kalo penjajah sebenarnya bukan orang-orang londo itu. Mereka itu baik, sering ngasih Mbah roti enak. Semakin ke sini, malah semakin jelas, kalo kita itu dijajah oleh bangsa sendiri. Bukan hanya dijajah tenaga, tapi juga dijajah harga diri.” Simbah berbicara panjang.

 Tatapan Rima tampak kosong.

 Apakah penghinaan yang dilontarkan Bu Entin sudah menjajah harga dirinya?

💞

Ungaran, 31 Agustus 2019

#Event_Kemerdekaan_Fight_Stupid

Related Posts

Posting Komentar