Cerpen Misteri: Pukul 02.13

Posting Komentar

 Cerita misteri



 Alarm dari ponsel membangunkan tidur malamku. Setelah mengerjap beberapa saat, aku melangkah menuju kamar mandi untuk buang hajat kecil dan bersuci.

 Selesai salat Tahajud, aku beranjak ke dapur untuk membuat kopi panas. Seperti biasa, aku juga menyiapkan beberapa camilan. Pagi ini, aku akan mengurasi beberapa naskah yang sempat tertunda.

 Kesiur angin menyapa dari ventilasi dapur. Suara burung gagak di pemakaman sebelah rumah, terdengar begitu nyaring.

 "Innalillahi," ucapku sambil mengelus dada.

 Setiap kali terdengar lengkingan gagak, hatiku memang selalu berdesir. Entah mitos atau fakta, nyatanya tiap kali ada suara gagak, pasti akan ada penghuni baru di pemakaman sebelah.

 Kulihat jam dinding yang ada di ruang tengah. Baru pukul 02.13. Namun, suasana kali ini berbeda dari biasanya. Angin bertiup agak kencang, membuat ventilasi dapur berderak beberapa kali.

 Bulu kudukku mulai meremang. Namun, ada tanggung jawab yang menuntutku untuk segera menyelesaikan pekerjaan ini.

 Aku membawa kopi dan camilan ke ruang tamu, yang sekaligus berfungsi sebagai ruang kerjaku. Kemudian, aku menyusun bantal agar tubuhku rileks dalam bekerja.

 Suara portal gang yang dibuka, tertangkap telingaku. Portal itu hanya berjarak satu rumah, jadi aku masih bisa dengan jelas mendengarnya. Tak lama kemudian, suara motor melaju dan berhenti di depan rumah. Aku mengintip dari tirai.

 Ah, rupanya si Awang baru pulang, batinku.

 Awang adalah menantu tetangga depan rumah. Umurnya delapan tahun lebih muda dariku. Dia penyuka musik metal dan hobi menembak burung, juga reptil.

 Seperti biasa, Awang langsung memarkir motornya di teras. Kemudian, dia duduk sambil menyulut rokok.

 Meski jarak teras kami hanya 4 meter, tetapi aku sulit melihatnya dengan jelas. Lampu terasnya temaram. Aku hanya bisa melihat, beberapa kali Awang menyeka sesuatu di kepalanya.

 Aku putuskan untuk kembali fokus mengurasi. Namun, hujan tiba-tiba turun dengan deras, saat mataku menatap jam yang ada di komputer. Sudah hampir pukul 03.00.

 Kusibak tirai lagi. Awang sudah tak ada di teras. Barangkali karena hujan, dia segera masuk ke rumah.

 Lembar demi lembar aku kurasi. Hanya terjeda untuk salat Subuh dan membuat sarapan. Hujan belum juga berhenti ketika suamiku berangkat kerja.

 Pukul 07.32, Mbak Woro--tetangga sebelahku--menelepon. 

 "Mbak, bapaknya Rama itu namanya Awang Prasetyo, bukan?" tanyanya.

 "Iya, Mbak. Kenapa?"

 "Aku ditelepon Dokter Ira. Katanya, bapaknya Rama sekarang ada di IGD karena kecelakaan. Kondisinya nggak bagus. Tapi, aku nggak tega ngomong ke keluarganya. Boleh minta tolong disampaikan, Mbak?" pintanya.

 "Innalillahi. Ya, Mbak, segera aku sampaikan," jawabku.

 "Rumah sakit nggak bisa hubungi keluarganya. Hanya ada identitas. Kebetulan Dokter Ira paham wajah bapaknya Rama dan alamatnya," lanjut Mbak Woro.

 "Oke-oke. Aku sampaikan sekarang, Mbak." Aku bergegas mematikan panggilan telepon dan berlari ke rumah Awang.

 Setelah mengetuk beberapa kali, tampak mertuanya yang membuka pintu. Aku sampaikan informasi itu. Beliau segera meminta tolong tetangga yang lain untuk mengantar ke rumah sakit.

 Satu jam kemudian, tetangga yang mengantar kembali ke rumah.

 "Gimana kondisinya, Mas?" tanyaku.

 "Mas Awang meninggal, Mbak. Kecelakaan tunggal. Kemungkinan dia ngantuk. Kepalanya bocor karena nggak pake helm," jawabnya.

 "Innalillahi wa innailaihi rojiun. Kecelakaannya jam berapa, tho, Mas? Habis ngantar istrinya? Dia baru pulang tadi jam 2, pantas kalo masih ngantuk," cecarku.

 "Lah, bukannya semalam dia nggak pulang? Wong pulang subuhan tadi, aku nggak lihat motornya."

 "Mosok? Wong aku lihat sendiri, kok, habis markir motor, dia ngrokok." Aku bersikeras.

 "Kata pihak rumah sakit, dia dianter ke IGD sekitar jam 2, Mbak."

 "Hah? Terus yang aku lihat tadi siapa?"

 *

Ugr, 4 Maret 2021

Related Posts

Posting Komentar