Cerpen: Rumah Dua Puluh Tahun

Posting Komentar

 Cerpen Rumah Dua Puluh Tahun



Tak terlalu besar memang, tetapi tak terlalu kecil pula. Sederhana dan penuh kenangan. Bangunan berlantai dua ditambah sebuah loteng untuk tempat bermain kedua putriku.

Aku menatap bangunan tua itu dari halaman depan. Catnya mulai terkelupas, banyak bagian rumah yang berwarna kehitaman. Sedikit lumut dengan tanaman liar tumbuh di sekelilingnya. Mungkin Sara, istriku, sedang tak ada waktu untuk membersihkannya.

Lama aku berdiri, hingga Sara menyadari kehadiranku dari balik jendela. Perempuan berusia hampir empat puluh tahun itu membuka pintu, kemudian berlari ke arahku.

Sara mendekapku erat, melampiaskan kerinduan yang membuncah. Ya, aku kembali ke rumah ini setelah pergi untuk kesekian waktu. Cukup lama, tetapi tak membuat Sara membenciku. Juga Hana dan Laura, yang segera berlari berhamburan dari loteng, setelah Sara berteriak dari bawah memanggil mereka.

“Bagaimana kabarmu, Sayang?” Aku mengecup manis kening Sara.

“Aku baik.” Sara tersenyum padaku. Tangan kirinya masih merangkul mesra pinggangku. “Ayo, kita masuk! Aku sudah memasak makanan kesukaanmu.”

Aroma masakan Sara membuatku semakin merindukan mereka, juga suasana rumah ini. Tak banyak yang berubah. Perabotan dengan tata letak ruang masih seperti dulu.

Sara bergegas kembali ke dapur, menyiapkan makan malam kami.

“Kenapa Ayah pergi lama sekali? Aku sangat merindukanmu.” Laura menggelayut manja di gendonganku.

Aku tersenyum, mencubit hidung mancung gadis berumur enam tahun itu. “Ayah berjanji tak akan pergi lagi.”

“Ayah, kemarin aku mengecat dinding loteng dengan warna biru,” ujar Hana, sulungku yang umurnya empat tahun lebih tua dari Laura.

“Oh, ya? Pasti hasilnya bagus sekali.” Tanpa harus melihatnya pun, aku tahu, Hana berbakat di bidang itu.

“Ayo, Ayah! Kita naik, bermain di loteng.” Laura mulai merajuk.

Aku menoleh ke arah Sara. Dia tersenyum dengan kepala mengangguk sekali tanda setuju.

Bergegas, aku, Hana, dan Laura menapaki satu per satu anak tangga menuju loteng. Bangunan kecil di atap rumah dengan empat jendela di setiap sisinya. Di sinilah, aku sering menemani mereka bermain boneka.

“Lihat, Ayah! Kepala Teddy sobek.” Laura menunjukkan boneka beruangnya yang tak utuh lagi.

Aku mengambil boneka itu. “Siapa yang melakukannya?”

“Seorang perampok, Ayah. Mereka ke sini ketika Ayah pergi.” Hana menjelaskan dengan raut wajah yang mulai sedih.

“Perampok? Ke rumah kita?”

Hana dan Laura mengangguk.

Aku segera berlutut memeluk mereka. “Kalian tak apa-apa?”

“Ya, Ayah. Ibu menyuruh kami bersembunyi, tapi Teddy tertinggal di lantai bawah.”

Aku menangis tersedu, membayangkan kejadian itu. Merasa bersalah tak dapat melindungi mereka.

Suara Sara terdengar dari bawah. Makan malam telah siap. Aku menyeka bulir bening di sudut mata dengan tangan kanan. Bersama Hana dan Laura, aku kembali menyusuri anak tangga.

Meja makan bulat dengan empat kursi mengitarinya. Di atas meja telah tersaji menu kesukaanku. Sara benar-benar tak melupakannya.

Sara menggenggam erat jemariku. “Pimpinlah doa!”

Aku mengangguk, mengajak Hana dan Laura berdoa bersama. Tak lama kemudian, piranti makan mulai berdenting ricuh disertai gelak tawa kami.

***

“Sudah lama Ayah tidak bersama kami di sini. Hari ini, aku merasa bahagia Ayah telah kembali.” Suara Hana memecah keheningan ruang tengah.

Kepala Laura yang awalnya bersandar di bahuku, kini mendongak. “Ayah tak akan pergi lagi, ‘kan?”

“Tadi Ayah sudah katakan, sejak hari ini, Ayah tak akan meninggalkan kalian.”

“Janji, Yah?” Laura bertanya lagi.

“Ayah janji.”

Malam mulai merangkak. Laura sudah tertidur di pangkuanku. Sekian lama menunggu di dalam sel penjara, akhirnya aku bisa kembali menggendongnya. Membawa tubuh mungilnya masuk ke kamar bercat merah muda itu. Hana pun sudah tertidur pulas di atas ranjangnya.

Sara telah menungguku di kamar. Seperti malam-malam yang telah lalu, kami biasa bercengkerama menjelang tidur.

“Mengapa kau tidak memberitahuku, ketika perampok itu masuk ke rumah kita?”

“Aku sudah meneleponmu berulang kali, namun tak kau angkat. Kami sedang menonton televisi, ketika tiba-tiba terdengar pintu belakang didobrak. Aku menyuruh Hana dan Laura segera bersembunyi di loteng. Mereka ada dua orang, yang satu membawa senjata. Aku sangat ketakutan.” Sara menangis dalam pelukanku.

“Lalu, apa yang mereka lakukan?”

Sara masih terisak. “Mereka menemukan tempatku bersembunyi, lalu menyeretku ke ruang bawah, mengikatku di sudut ruangan. Mereka kembali ke atas, mencari Hana dan Laura. Teddy tertinggal di sofa. Salah satu perampok itu mencabik-cabiknya.”

“Apa yang mereka lakukan pada Hana dan Laura?” Aku mulai geram.

“Mereka dikurung di dalam loteng, lalu perampok itu membakarnya.”

Aku menatap tajam Sara. Membakar loteng? Bagaimana mungkin? Kondisi loteng yang tadi kulihat masih sama seperti dahulu.

“Aku tak mengerti Sara.”

“Apa kau lupa? Mereka hampir membakar seluruh rumah ini ketika kau datang. Akhirnya kalian berkelahi di ruang tengah. Aku masih bisa mendengar apa yang kalian ributkan waktu itu, hingga terdengar letusan senjata api. Aku menjerit, mengira kau yang tertembak.”

Aku berusaha mengingatnya. Kejadian hampir dua puluh tahun yang lalu.

Waktu itu, aku baru saja pulang kerja. Pekerjaan menumpuk membuatku harus lembur hingga malam.

Aku tahu Sara menelepon berulang kali, tetapi tak kupedulikan. Aku pikir, dia menelepon hanya untuk menanyakan posisiku.

Aku memacu mobil dengan kecepatan tinggi, berharap segera sampai di rumah dan memberi mereka kejutan. Namun, aku melihat lantai atas telah terbakar. Memasuki teras, aku melihat dua perampok itu sedang mengacak-acak rumah.

Aku mengenal kedua perampok itu. Mereka pesaing bisnisku yang telah gagal dalam lelang proyek.

Rumah hampir seluruhnya terbakar. Aku berteriak memanggil nama Sara, Hana, dan Laura, ketika perampok itu mulai menyadari kedatanganku. Kami berkelahi. Senapan yang dipegang salah satu di antara mereka berhasil aku rebut.

Aku marah dengan apa yang telah mereka lakukan. Kemudian, aku menembakkan peluru ke arah perampok-perampok itu. Namun, aku tak berhasil menyelamatkan keluarga kecilku. Sara, Hana, dan Laura harus tewas terpanggang panasnya api.

Aku merutuk, lalu menyerahkan diri pada polisi. Meski saat itu aku dalam posisi membela diri, tetapi aku tak bisa lepas dari hukuman karena membunuh kedua perampok yang berhati keji. Hukaman dua puluh tahun berada di balik jeruji besi.

Kini, aku kembali ke rumah ini, setelah beberapa jam yang lalu polisi menemukanku mati.

“Sudahlah, Sayang. Sekarang kita telah bersama lagi.” Sara memeluk tubuhku. “Aku tahu, hari ini kau akan bebas. Jadi aku telah mempersiapkan diri untuk menyambutmu.”

“Maafkan aku, Sara. Aku tak bisa menyelamatkan kalian. Andai saja aku tak lembur malam itu ….”

“Kita sudah berkumpul seperti dulu lagi. Tak ada yang perlu disesali.”

--selesai--


Ungaran, 30 Juni 2019


#Event_Rumah

Related Posts

Posting Komentar