Cerpen: Tamu di Kala Senja

Posting Komentar

 Cerpen Tamu di Kala Senja



Sinar mentari mulai terpancar di ufuk timur, ketika aku menyibak tirai jendela kamar ini. Kemudian, kubuka jendela agar udara pagi masuk untuk sedikit menghangatkan, setelah semalam udara terasa sangat dingin. Kuambil sapu lidi, menebah kasur agar debu yang singgah di sprei berhamburan menjauh, lalu menata rapi bantal serta guling. Selanjutnya, aku bergegas keluar kamar, menyiapkan sarapan untuk suamiku.

“Nanti aku pulang malam lagi, ya,” ujar suamiku sambil menggeser kursi makan, lalu duduk.

Mas Hagar—suamiku—bekerja sebagai Debt Collector di salah satu perusahaan leasing di kota kami. Pekerjaan yang banyak menyita waktu hingga larut malam. Bahkan, Mas Hagar pernah tidak pulang karena menagih nasabah di luar kota.

“Iya, Mas. Hati-hati, jangan ngebut.” Aku mengambil nasi untuknya dari rice cooker.

“Kamu juga hati-hati. Jangan lupa makan dan minum vitamin. Sebentar lagi ‘kan melahirkan,” katanya sambil mengelus dan mencium perut buncitku. “Kalo ada apa-apa, langsung telepon Mamah, ya.”

Aku mengangguk.

Mamahnya tinggal di kampung sebelah. Mas Hagar membeli rumah ini ketika usia kandunganku menginjak empat bulan, dengan harapan tetap dekat dengan Mamah.

Mas Hagar berangkat kerja tepat pukul 07.00. Kemudian, aku melanjutkan rutinitas harian. Menyapu rumah dan halaman menjadi kebiasaanku setelah Mas Hagar pergi. Dilanjutkan dengan mencuci peralatan makan kotor yang dari semalam belum tersentuh. Terakhir, aku mengepel lantai dengan posisi nungging, yang kata Mamah bisa melancarkan persalinan.

Tak banyak yang bisa kulakukan dengan kondisi perut membuncit seperti ini. Kurebahkan badan di atas sofa empuk, lalu tangan ini mengambil ponsel di samping sofa. Sejenak mata berselancar di dunia maya, mencari nama yang indah untuk calon bayiku, hingga akhirnya kantuk mendera.

***

Senja mulai menghiasi langit ketika aku terbangun. Ternyata aku tertidur cukup lama. Sebelum mandi, kuputuskan untuk menikmati suasana senja di depan rumah. Melihat sekeliling, jarak antara rumah kami dengan tetangga tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh. Kampung ini terbilang sepi, hanya terlihat beberapa orang yang hendak pergi ke masjid.

Angin yang berembus mengantarkan aroma melati masuk melalui bulu hidung. Sejenak kunikmati wangi ini, hingga kulihat sesosok perempuan memakai baju panjang berwarna putih tulang, datang menghampiriku. Perutnya besar, sepertinya dia juga sedang hamil.

“Boleh numpang duduk, Mbak?” tanyanya kepadaku dengan napas tersengal-sengal.

“Mari ... silakan duduk.” Aku mempersilakannya duduk di kursi teras depan.

“Terima kasih,” ujarnya santun.

“Sebentar, saya ambilkan minum.” Aku hendak masuk ke rumah ketika tiba-tiba dia mencegahku.

“Nggak usah, Mbak. Saya cuma sebentar.”

“Mbak ini mau ke mana ... magrib-magrib gini?” tanyaku setelah duduk di sampingnya.

“Nyari pacar saya, Mbak. Dia harus tanggung jawab sama jabang bayi ini,” jawabnya sambil mengelus perut yang besarnya hampir sama dengan perut buncitku.

“Pacarnya orang mana, Mbak? Kok bisa sampai sini. Apa warga sini?” Aku memberondong pertanyaan ingin tahu.

“Saya dengar dia tinggal di daerah sini, Mbak ....” Perempuan itu tak melanjutkan ceritanya.

Kulihat butiran bening hampir jatuh dari kelopak matanya. Dia terlihat cantik dengan alis tebal dan mata yang tak terlalu besar. Rambut lurus sepinggang, dibiarkan terurai. Tingginya hampir sama denganku. Namun, kulitnya sangat pucat, mungkin dehidrasi karena kelelahan.

“Mbak sudah makan?” tanyaku lagi.

Perempuan itu hanya menggeleng.

“Saya ambilkan makan dan minum, ya. Wajah Mbak pucat, hamil lagi. Kalo Mbak pingsan di jalan, saya nggak bisa nolongin,” kataku seraya mengambil posisi untuk berdiri.

“Saya izin pamit saja, Mbak. Terima kasih atas tumpangan duduknya.” Dia berdiri tanpa menoleh ke arahku, lalu berjalan keluar dari halaman rumah.

Aku masuk ke rumah setelah perempuan itu hilang dari pandangan, lalu kututup pintu dan menguncinya. Jarum jam di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 18.30.

“Jendela kamar belum kututup,” gumamku.

Aku segera masuk kamar. Aroma melati menyeruak lagi, ketika aku pelan-pelan menutup jendela. Angin berdesir membuat bulu kuduk ikut merinding, meski badan sedikit lengket karena peluh keringat yang sudah mengering. Kuputuskan tetap mandi untuk menyegarkan badan.

Kulangkahkan kaki ke dapur, mengambil panci dan kuisi setengahnya dengan air. Selagi menunggu air panas, aku menyiapkan ember di dalam kamar mandi, lalu mengisinya dengan sedikit air biasa.

Tak lama, kuangkat air panas itu menggunakan lap di kedua tanganku. Baru beberapa langkah, tiba-tiba seekor kucing hitam berlari menyenggolku. Aku terperanjat. Untung saja air panas itu tidak tumpah. Ternyata pintu belakang masih sedikit menganga.

***

Kunyalakan televisi sembari menunggu Mas Hagar pulang. Jam di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 20.00. Belum terdengar deru mesin motor memasuki halaman rumah kami. Beberapa kali, kuintip dari balik tirai jendela ruang tamu untuk sekadar melihat suasana di luar. Sepi, hanya terlihat daun pisang yang melambai-lambai di kebun depan seberang rumah. Sekilas tampak sosok perempuan yang tadi sore mampir, berdiri di antara pohon pisang itu.

Aku baru ingat kalau hari ini malam Jumat. Televisi yang sedari tadi masih menyala, mulai menayangkan film horornya. Sebuah boneka terkutuk yang bisa menghabisi nyawa manusia. Kuambil remote, lalu kupencet tombol ‘OFF’.

Kuambil ponsel, mengirim pesan ke Mas Hagar, menanyakan kepulangannya.

[Pulang jam berapa, Mas?]

[Bentar lagi nyampai rumah. Aku di warung Pak Man lagi beli martabak.]

Hatiku terselimuti rasa lega. Warung martabak itu hanya berjarak lima ratus meter dari rumah. Sepuluh menit kemudian, Mas Hagar menampakkan batang hidungnya.

Aku membuka pintu, tersenyum padanya. Mas Hagar menyerahkan bungkusan itu, kusambut dengan ciuman di punggung tangannya. Lelaki itu membalas dengan mencium keningku dan calon bayi kami.

Aku beruntung memiliki suami sepertinya. Pekerja keras dan bertanggung jawab. Dia selalu tahu apa yang aku mau dan tak pernah menuntutku macam-macam. Selama kami bersama, aku selalu merasa diistimewakan.

***

Di hari Jumat sore ini, aku sengaja berjalan-jalan di sekitar rumah. Menyapa tetangga yang kutemui, meski banyak yang belum kukenal, hingga kembali ke arah rumah.

“Mbak, kalo magrib itu masuk rumah. Tutup pintu dan jendela dengan baca Basmallah. Kemarin, waktu saya lewat habis pulang dari masjid, saya lihat Njenengan ngomong sendiri di teras,” kata Bu Sri yang rumahnya berjarak sepuluh meter sebelah kanan dari rumahku.

Aku tersentak.

“Kemarin itu ... saya kedatangan tamu, Bu. Perempuan hamil berambut lurus, panjangnya sepinggang, pakai baju panjang warna putih tulang. Masak Ibu nggak lihat?” tanyaku keheranan.

“Njenengan sendirian, Mbak,” jelas Bu Sri lagi.

Jleb!

Buru-buru aku pamit pulang. Mentari sudah mulai tenggelam diikuti sinar senja yang kemerahan. Aku masuk ke rumah, mengunci pintu dan jendela.

Aku termenung di ruang tengah, ketika tiba-tiba aroma melati kembali menyeruak ke seluruh ruangan. Wanginya sangat menusuk hidung, lalu kurasakan ada seseorang yang mengamatiku dari belakang.

“M--Mbak?” Aku kaget melihat perempuan berwajah pucat itu sudah berada di dalam rumahku.

Dia tersenyum, lalu berjalan ke arahku, tanpa menginjak bumi. Hatiku berdesir, bulu kuduk merinding dan dada ini naik turun dengan cepatnya.

“Seharusnya, Mas Hagar menikahiku. Aku mengandung anaknya lebih dulu, sebelum kalian menikah,” katanya dengan mata yang seluruhnya berwarna merah.

“T--tidak mungkin. Mas Hagar tidak mungkin melakukan itu!” Aku semakin mundur berusaha menghindarinya.

“Malam ini, tepat empat puluh hari kematianku. Jabang bayi ini sudah berumur delapan bulan, sama seperti kandunganmu, saat Mas Hagar meracuniku! Sekarang giliranmu!” Perempuan itu semakin mendekat.

Aku menelan ludah sebelum kedua tangannya mencengkeram leherku. Tenggorokan sakit dan dada terasa sesak. Oksigen tak mampu lagi masuk melewati rongga tenggorokan yang sudah terhimpit itu. Mataku mulai kabur, gerakanku melemah dan kini semua menjadi gelap.

***

Sabtu pagi, aku membuka mata. Kudapati diri ini masih di atas ranjang. Aku tersenyum, kejadian semalam hanya mimpi.

Sinar mentari masuk melalui jendela yang telah tersibak tirainya. Kulitku terasa terbakar ketika sinar itu mulai menyentuh.

Aku segera duduk di tepi ranjang. Tubuhku terasa ringan meski kandungan ini sudah berumur delapan bulan. Aku menggerakkan tangan lurus menyatu di atas kepala, hingga kudengar suara Mas Hagar.

“Aku berangkat kerja dulu. Hari ini aku bisa pulang lebih awal. Nanti kita ke dokter kandungan, ya,” katanya.

Aku segera bangkit, tetapi kaki tak mau menginjak bumi. Berjalan keluar kamar dengan melayang. Aku melihat ragaku sedang mencium punggung tangan Mas Hagar, lalu dia melambaikan tangan kanannya ketika kekasih halalku meninggalkan halaman rumah.

Dia berbalik masuk ke rumah, menutup pintu, lalu tersenyum padaku.

“Mas Hagar kini milikku!” ucap perempuan itu.

TAMAT.


*Njenengan : Anda, kamu.

*Jabang bayi : janin dalam kandungan.



Ungaran, 3 April 2019


#Event_horor

Related Posts

Posting Komentar