Cerpen: Surat Cinta di Balik Corona

Posting Komentar
surat cinta di balik corona

Hari sudah semakin petang kala aku membuka aplikasi WhatsApp di ponsel. Rutinitas hari ini membuatku tak sempat menengok ratusan pesan yang menghiasi layar itu.

Kubuka satu per satu pesan itu, hingga akhirnya berhenti di grup kelas pondok, tempat putriku menuntut ilmu agama.

“Bi, ini ada pemberitahuan perpulangan santri. Kelas Hana dijadwalkan pulang besok Kamis,” kataku pada Abi.

“Wah, kok pas hari kerja, ya?” sahutnya.

“Enaknya gimana, ya, Bi?”

“Hem … konfirmasi aja kalo Hana mau dijemput hari Sabtu.”

Ya, bukan tanpa alasan mengapa Abi menyuruhku untuk menjemput di hari Sabtu. Hari itu dia libur, jadi aku bisa menjemput Hana naik bus, sendirian. Sementara kalau hari kerja, aku harus mengajak Arsyi, putri kecilku yang baru berusia 4 tahun. Itu lebih berisiko karena pandemi Corona belum juga usai.

“Ya, deh, Bi. Nanti Umi konfirmasi dulu ke ustazahnya. Sementara ini nunggu hasil rapid test-nya dulu.”

“Alhamdulillah. Bagus itu, di-rapid test dulu. Semoga Hana sehat-sehat saja.”

“Aamiin,” jawabku sambil mengangguk.

Telepon dari Pondok

Ponsel baru kunyalakan pukul 06.00 di keesokan harinya. Sebuah pesan dari salah satu wali santri membuatku langsung membuka grup kelas. Ternyata, mereka sedang membahas hasil rapid test yang sudah diterima.

Aku hanya bengong. Belum ada satu pun kabar yang aku terima tentang hasil rapid test Hana. Setelah bertanya pada wali santri lain, aku pun menghubungi Ustazah Wina.

Kabar mengejutkan menghampiriku pagi itu. Hana berstatus reaktif dengan gejala indra penciumannya tidak berfungsi dengan baik.

Seketika aku lemas, membayangkan kondisi Hana. Kenangan ketika dia kritis di rumah sakit setahun sebelumnya, kembali hadir di pelupuk mata. Aku segera menghubungi Abi yang ada di kantor.

“Bi, Hana reaktif,” kataku lirih.

“Umi jangan panik dulu. Kan belum tentu positif,” jawabnya dengan tenang. “Lah, besok Hana jadi pulang?”

“Dikasi dua pilihan, Bi. Kalo mau dijemput besok Sabtu, Umi harus tanda tangan di atas materai buat kesepakatan Hana bener-bener di karantina di rumah. Atau … Hana di karantina di pondok sampe Ahad pekan depan.”

Percakapan kami terhenti sejenak. Napas Abi terdengar panjang. Sepertinya dia sedang berpikir.

“Hana dikarantina di pondok saja, Umi. Itu lebih aman. Apalagi kalo besok Sabtu Umi jemputnya naik bus, itu akan lebih berisiko,” katanya kemudian.

“Tapi, Bi ….” Aku mulai merengek.

“Umiii …,” sahutnya cepat. “Umi nggak ingat waktu Abi masuk ODP? Baru ODP aja, tetangga satu erte udah pada ribut. Terus, udah lewat masa karantina, Abi masih nggak dibolehin salat di masjid, apalagi jadi muazin. Apalagi ini, udah bener-bener reaktif.”

“Ya kita nggak usah ngomong-ngomong ke tetangga!” protesku.

“Nanti kesalahan, Umi. Kalo kantor tahu, Abi juga pasti nanti disuruh WFH lagi. Ini akhir tahun, Abi masih banyak laporan.”

Aku kesal, tetapi juga tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, aku mengkhawatirkan kesehatan Hana. Namun di sisi lain, faktor keselamatan keluarga di rumah juga menjadi pertimbanganku.

Hana Dikarantina di Pondok

Aku juga membayangkan kondisi Hana yang harus ditinggal teman-temannya pulang. Bagaimana psikisnya selama dikarantina nanti? Apakah dia bisa menerima kenyataan ini? Sementara aku tahu, dia ingin sekali pulang.

Kembali aku membuka aplikasi WhatsApp, lalu menulis kata per kata untuk Ustazah Wina sambil menata hati. Akhirnya dengan basmallah, aku mengonfirmasikan untuk mengarantina Hana di pondok. Kemudian, menitip pesan permohonan maaf untuk Hana atas keputusan kami ini.

Semalaman aku tidak bisa tidur. Wajah pucat Hana kala sakit menghantuiku. Astagfirullah!

Aku segera bangkit dan berwudu. Kutunaikan salat sunah dua rakaat dan berdoa agar diberi ketenangan. Aku pasrahkan semua pada Sang Pencipta.

[Um, besok saya mau ke pondok nganter perlengkapannya Fatima. Umi mau nitip apa buat Hana?]

Sebuah pesan dari uminya Fatima, teman sekelas Hana yang juga reaktif. Beliau juga memutuskan untuk mengarantina Fatima di pondok.

[Iya, Um. Saya mau nitip kalo nggak ngerepotin.]

[Insyaallah nggak, Um. Kan sekalian. Rumah saya deket, kok, dari pondok.]

Alhamdulillah, kekhawatiranku sedikit terobati. Meski Hana harus dikarantina di pondok, tetapi aku masih bisa membelikan buah kesukaannya. Tak lupa, beberapa suplemen dan vitamin untuk meningkatkan imun tubuhnya.

[Nggak sekalian sama surat, Um? Ditulis aja, terus difoto. Insyaallah, saya print-kan.]

Ah, ya. Mengapa tidak? Semoga saja dengan surat itu, Hana bisa tegar dan bersabar menghadapi cobaan ini.

Aku mengambil kertas dan bolpoin. Segera kutulis kata-kata untuk membangkitkan semangatnya.

Assalamualaikum, Kak Hana.

Semoga Kak Hana selalu sehat dan bahagia. Abi, Umi, dan Dik Arsyi juga sehat-sehat, kok.

Kak Hana tetap jaga kondisi, ya. Jangan lupa untuk bahagia dan terus berdoa. Jangan malas untuk berjemur dan minum vitamin yang Umi kirim. Insyaallah, Ahad pekan depan kita berkumpul lagi.

Oh, ya, besok kalo pulang mau dibeliin apa? Umi juga siapin ayam krispi kesukaan Kak Hana, lho.

Sehat terus, ya. Umi sayang Kak Hana.

💓 Umi 💓

Setiap hari, aku memantau kondisi Hana lewat Ustazah Wina. Aku merasa lega ketika membaca kabar kalau indra penciuman Hana kembali normal. Kondisinya pun sehat.

Tak terasa, dua pekan berlalu. Masa karantina Hana hampir berakhir. Aku membujuk Abi untuk membeli mobil.

“Beli mobil, dong, Bi. Jadi kita nggak bingung lagi kalo mo anter jemput Hana ke pondok,” kataku.

“Uangnya belum ada, Umi. Insyaallah, secepatnya Abi belikan.”

“Pake uang hasil penjualan tanah aja dulu,” pintaku.

“Jangan, Umi. Itu buat daftar umroh kedua umi kita. Bentar lagi kan vaksinasi, mungkin setelah itu ada penerimaan umroh buat lansia.”

“Terus, nanti kita jemput Hana pake apa?”

Abi tersenyum padaku. Dia membelai lembut kepalaku yang tertutup hijab.

“Alhamdulillah, Abi dipinjami mobil sama teman. Mobil pribadi, jadi insyaallah aman.”

Allah tidak tidur. Dia Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan hamba-Nya.

Hana Kembali ke Rumah

Hari penjemputan pun tiba. Hana memasuki mobil dengan ceria.

“Umi, aku minta dibeliin album Enhypen, ya?” pintanya di tengah perjalanan.

“Boleh. Murah, sih, tapi kayaknya cuma album doang, nggak ada DVD-nya.”

“Hem … kalo drama yang bagus, apa, Mi?” tanyanya.

“Menurut Umi, Start-Up bagus. Tapi nanti kalo mau nonton sama Umi, ya.”

Hana mengangguk.

“Lagi pada ngomongin apa, sih?” Abi tiba-tiba bertanya.

“Korea!” jawabku dan Hana bersamaan.

“Astagfirullah, Umiii!” Abi menepuk jidatnya.


💝 Selesai 💝

Related Posts

Posting Komentar