Cerpen: Bersama Cinta Mengenal Sejarah

Posting Komentar

 

Kereta wisata Ambarawa-Tuntang
Sumber foto Phinemo.com


 Minggu pagi yang cerah.

 “Bapak, ayo lari-lari,” pinta Kinar yang sudah memakai sepatu. Gadis kecil berumur tiga tahun itu tak sabar menunggu.

 “Iya, sebentar. Tunggu Mas Arya. Nanti sama-sama. Bapak, Ibu, dan Kinar jalan, ya. Mas Arya naik sepeda,” kata Pak Budi sambil memakai sepatu di teras depan rumah. “Mas Arya, jangan lupa bawa bola,” lanjutnya.

 Arya yang baru selesai mencuci piring segera mengeluarkan sepedanya. Kemudian, dia mengambil bola dan memasukkannya ke tas ransel. Tak lupa, botol air minum yang telah diisi ibunya.

 Setelah menutup gerbang rumah, mereka berjalan menyusuri permukiman warga hingga sampai di jalan setapak--yang dahulu di samping kanan kirinya terdapat hamparan sawah, kini tersisa tanah kering dengan rumput liar sebagai hiasannya. Setelah itu, jalan yang sedikit mendaki dan berkelok-kelok.
 
 “Bapak, aku capek,” kata Kinar dengan napas yang tersengal-sengal.

 Pak Budi tersenyum dan meraih gadis itu, lalu mendudukkannya di atas bahu. Perjalanan ringan lima belas menit itu pun berakhir setelah sampai di sebuah lapangan.

 Di salah satu sisi lapangan itu terdapat sebuah bangunan tua peninggalan zaman Belanda dengan arsitektur sedikit Tionghoa. Konon, bangunan itu telah berusia 100 tahun. Berdiri kokoh dengan dua lantai yang temboknya dicat warna kuning. Terdapat motif kepala singa di setiap sudut bangunan dan tiga balkon yang konon digunakan si pemilik bangunan untuk melihat pemandangan alam. 

 Balkon sebelah timur untuk menikmati terbitnya matahari, balkon selatan melihat Gunung Ungaran, dan balkon utara menghadap Kota Semarang. Meski sekarang balkon utara sudah tidak dapat lagi melihat pemandangan Kota Semarang karena sudah terhalang oleh bangunan-bangunan yang lebih tinggi.

 Kini bangunan itu menyeramkan mirip seperti rumah hantu. Dinding bangunannya kusam, cat kuning sebagai identitas bangunan sudah tak lagi jelas warnanya dan banyak ditumbuhi lumut serta rumput di sekitarnya. Atapnya banyak yang rusak, bahkan genteng-genteng pun berjatuhan. 

 “Itu rumah siapa, Pak?” tanya Kinar menunjuk bangunan itu sesaat setelah turun dari bahu Pak Budi.

 “Rumah orang ... tapi sekarang orangnya sudah pergi.”

 “Ada setannya, ya, Pak?” 

 “Enggak ada. Cuma kelelawar yang masih bobok.”

 “Kelelawar itu apa, Pak?”

 “Burung yang warnanya hitam dan suka makan buah di malam hari.”

 “Kok maemnya malam, Pak?”

 “Iya, kelelawar itu mainnya di malam hari. Kalo siang malah bobok.”

 “Rumahnya kotor, ya, Pak?”

 “Karena tidak di rawat. Tidak ada yang nyapu ... tidak ada yang ngepel ... jadinya kotor deh.”

 “Di atas bolong, Pak. Nanti kalo hujan banyak airnya.”

 “Makanya, Kinar harus rajin bantuin Ibu bersih-bersih di rumah, ya. Biar rumahnya nggak kotor dan nggak bolong.” 

 Kinar pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

 “Ayo, Dek, main bola sama Mas Arya!” seru Arya setelah puas mengelilingi lapangan dengan sepedanya. Sementara, Pak Budi dan istrinya berlari-lari kecil mengelilingi lapangan itu.

 “Bapak, Kinar mau naik kereta!” kata gadis kecil itu ketika mereka beristirahat.

 “Boleh, naik pesawat juga bisa. Setelah ini kita pulang, mandi, terus naik kereta dan pesawat. Oke?”

 “Yeay ... Kinar naik kereta,” sorak Kinar kegirangan.

 “Ya sudah, ayo pulang. Keburu siang, nanti jalanan macet,” ajak Bu Rida sambil menggandeng Kinar.

 Sudah satu jam mereka berolahraga di Gedong Kuning. Pulang melalui jalan yang berbeda, melewati jalan raya Gatot Subroto hingga masuk ke gang arah rumah mereka.

 ***

 “Sudah siap semua? Kita berangkat ...,” kata Pak Budi setelah melihat seluruh anggota keluarganya masuk mobil.

 Mobil pun berjalan keluar dari garasi menuju Museum Kereta Api Ambarawa. Perjalanan hanya sekitar tiga puluh menit. Biasanya kalau hari Minggu jalanan macet. Banyak orang yang berwisata menghabiskan waktu bersama keluarga. Namun, hari ini lancar. Mungkin karena pengaruh tanggal tua jadi jalanan sedikit lengang.

 Setelah memarkir mobil, mereka menuju loket untuk membeli tiket masuk.

 “Berapa orang, Bu?” tanya penjaga loket.

 “Tiga, Mbak. Anak kecil nggak dihitung, ‘kan?”

 “Aduh, Ibu ... sudah, Kinar dihitung juga nggak papa, kok. Nggak seberapa juga bayarnya. Hitung-hitung buat membantu pelestarian museum ini.”

 “Iya, deh, Pak. Jadinya empat, ya, Mbak.” Bu Rida menyodorkan selembar uang pada penjaga loket.

 “Ini empat tiket masuk dan uang kembaliannya, Bu. Terima kasih,” ucap penjaga loket itu seraya tersenyum manis.

 Dari pintu masuk, Kinar sudah berlari meninggalkan Bapak, Ibu, dan kakaknya. Gadis kecil itu senang, melihat deretan kereta di sisi kiri pintu masuk. Sementara, Bu Rida lebih menikmati sejarah museum yang disuguhkan di sisi sebelah kanan.

 “Bapak, naik ... naik!” seru Kinar sambil terus berlari.

 “Mas Arya, ajak adikmu naik kereta itu!” Pak Budi menunjuk salah satu kereta yang terlihat di dalamnya ada beberapa anak kecil.

 “Ya, Pak,” jawab Arya dan segera berlari menyusul adiknya.

 “Museumnya sudah bagus, ya, Pak. Ketika kita mengajak Arya ke sini beberapa tahun yang lalu, museumnya belum seperti ini.”

 “Ya harus ada pembenahan, Bu. Kalo tidak seperti ini, wisatawan juga tidak akan tertarik. Selain dari anggaran pemerintah, uang tiket itu juga membantu, lho.”

 “Iya, ya,” kata Bu Rida menahan malu.

 “Ayo, kita susul anak-anak, Bu!” ajak Pak Budi.

 ***

 “Kinar sedang lihat apa?” tanya Pak Budi ketika masuk ke kereta yang ternyata dibuat seperti perpustakaan.

 Ada beberapa rak dengan buku-buku yang tersusun rapi. Beralas karpet yang cukup bersih. Bantal duduk beraneka warna membuat perpustakaan itu semakin ceria. Sepertinya memang didesain untuk menarik perhatian anak-anak. Untuk menjaga kebersihan, alas kaki dilepas di pintu masuk kereta itu. Aneka buku ilmu pengetahuan terdapat di sana. Terutama tentang transportasi.

 “Ada gambar pesawat.” Kinar menunjuk salah satu gambar yang ada di buku ceritanya.

 “Pintar. Kinar mau naik pesawat?”

 “Mau ....”

 “Nanti kita naik pesawat, ya. Sekarang ikut Bapak naik kereta yang di sana. Yuk!” Pak Budi menunjuk kereta yang telah siap mengantar penumpang ke Stasiun Tuntang, Salatiga.

 “Hore ... Kinar mau naik kereta!”

 “Ibu beli tiket dulu, ya.” Bu Rida turun dari kereta perpustakaan menuju loket.

 Di sepanjang perjalanan wisata dari Stasiun Ambarawa menuju Stasiun Tuntang, selain disuguhkan pemandangan gunung-gunung dan sawah, juga melintasi wisata alam Rawa Pening. Wisata kereta reguler ini menggunakan lokomotif diesel, yang dapat menarik tiga gerbong sekaligus. Satu gerbong dapat memuat hingga empat puluh penumpang. Harga sewa per gerbongnya bervariatif dan disesuaikan dengan jadwal yang telah ditentukan.

 Keluarga Pak Budi sangat menikmati perjalanan ini. Angin sepoi-sepoi, udara yang begitu sejuk, serta cuaca yang sangat mendukung, matahari tidak terlalu panas memancarkan sinarnya. Kinar bernyanyi dengan riang gembira dan menunjuk segala sesuatu yang dia lihat.

 Sampai di Stasiun Tuntang, kereta berhenti sejenak, lalu kembali ke Stasiun Ambarawa melewati jalur yang sama. Jadi, kereta itu hanya memakai satu rel untuk perjalanan wisata reguler.

 ***

 Dari Museum Kereta Api Ambarawa, mereka melanjutkan perjalanan ke Monumen Palagan Ambarawa. Tak sampai sepuluh menit untuk tiba di Monumen itu.

 “Kok sepi, ya, Pak. Sepertinya monumen ini sudah jarang dikunjungi. Padahal ini kan hari Minggu,” kata Bu Rida setelah membayar tiket masuk.

 “Itulah, Bu ... kita sebagai orang tua seharusnya memberi contoh, mengajak anak-anak ke tempat yang memiliki nilai sejarah. Agar mereka tahu, perjuangan bangsa ini.” Pak Budi menggandeng tangan istrinya menyusul Arya dan Kinar yang telah masuk ke monumen.

 Ada beberapa pesawat dan kereta di sana. Juga beberapa jenis permainan anak. Tak begitu ramai pengunjung sehingga Kinar dapat menikmati semua permainan anak sesuai usianya dalam waktu yang cukup lama.

 “Bapak, foto ... foto!” seloroh Kinar di depan pesawat.

 Gadis kecil itu memang fotogenik. Dia selalu ‘sadar kamera’. Senang sekali difoto. Dengan berbagai ekspresi wajah dan gerak tubuh yang sangat menggemaskan.

 “Siap, Kinar? Bapak foto, ya. Satu ... dua ... tiga!”

 Klik!

 Tidak hanya di depan pesawat. Hampir di semua sudut monumen itu tak luput dari jepretan kamera gawai Pak Budi.

 Hari menjelang sore ketika Pak Budi dan keluarganya keluar dari Monumen Palagan Ambarawa. Sejenak mampir mengisi perut yang sudah kelaparan di warung nasi goreng langganan dekat rumah mereka.

 “Besok temani aku makan siang, ya, Bu.”

 “Di mana?” tanya Bu Rida sesaat setelah menelan nasi goreng kesukaannya.

 “Di benteng dekat kantor.”

 “Oke ....”

 ***

 “Bapak berangkat kerja dulu. Nanti siang Kinar sama Ibu nyusul ke benteng, ya.”

 “Iya, Pak.” Kinar mencium punggung tangan bapaknya.

 Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Bu Rida mengajak Kinar ke Benteng Williem II. Benteng itu dekat dengan kantor Pak Budi. Sambil menunggu jam istirahat, Kinar bermain di sekitar Benteng.

 Benteng yang berlokasi di Jalan Diponegoro, depan Kantor Dinas Bupati Semarang. Banyak taksi dan pedagang yang mangkal di sana. Bu Rida duduk di salah satu sudut samping Benteng sambil mengawasi Kinar.

 “Assalamualaikum, Kinar.” Pak Budi menyambut Kinar yang berlari ke arahnya dengan pelukan.

 “Mi ayam dua, Pak!” seru Pak Budi kepada salah satu pedagang motoran yang sudah menjadi langganannya.

 Dua porsi mi ayam untuk makan siang telah siap disantap. Bu Rida menyuapi Kinar terlebih dahulu sebelum menambahkan sambal pada mi ayamnya.

 “Benteng ini masih ada pengunjungnya, Pak?” tanya Bu Rida di sela-sela menyuapi gadis kecilnya.

 “Masih. Kemarin Bapak tes kesehatan untuk perpanjangan SIM A juga di sini,” jawab Pak Budi setelah menyeruput teh hangatnya.

 “Kenapa dipakai untuk tes kesehatan? Dulu kan langsung ke Polres?” Bu Rida sedikit protes.

 “Entahlah ... mungkin ini untuk sementara.”

 “Kita sudah lama tinggal di Ungaran tapi belum pernah masuk ke benteng ini ya, Pak. Sejarahnya pun kita tidak tahu. Malah kita lebih tertarik pada objek wisata yang modern, jauh di luar kota, dan butuh pengeluaran lebih.”

 “Nah ... di sini juga menyenangkan, ‘kan? Bersantai bersama keluarga itu tak perlu jauh-jauh. Kenali dulu objek wisata di kota kita. Masih banyak bangunan bersejarah yang bagus untuk dijadikan spot selfie. Lalu kita bisa share ke media sosial. Siapa tahu, banyak orang di luar sana yang tertarik. Jadi, akan banyak pula yang mengenal kota kita ini.”

 “Iiihhh ... Bapak kok jadi pintar, ya.”

 “Kok baru tahu ... kalo Bapak nggak pintar, dari dulu Bapak nggak bisa dapetin Ibu dong,” canda Pak Budi menggoda istrinya.

Tamat.

Lokasi :
1. Gedong Kuning, Ungaran.
2. Museum Kereta Api Ambarawa.
3. Monumen Palagan Ambarawa.
4. Benteng Williem II, Ungaran.




Ungaran, 19 Maret 2019

#Event_Cinta_Indonesia

Related Posts

Posting Komentar