Penghafal Al-Qur'an Punya IQ Tinggi

Posting Komentar

 Salah satu prestasi si Sulung ketika di pondok



 "Ibu, aku pengin pindah ke SMA negeri."

 Ya, kalimat itu yang beberapa bulan ini aku dengar dari putri sulungku. Sejak masih di kelas 3 MTs, dia selalu saja merengek pindah setiap kali aku meneleponnya.

 "Alasan apa yang membuat Mbak pengin pindah?" tanyaku.

 "Kalo di pondok terus, aku nggak bisa berkembang, Bu. Nanti nggak bisa masuk perguruan tinggi negeri," rengeknya.

 "Kata siapa?"

 "Kata teman-teman. Makanya banyak teman yang keluar dari pondok terus pindah ke SMA."

 Aku hanya tersenyum mendengarnya. Benarkah apa yang dikatakan teman-temannya?

***

 Sejak kelas 4 SD, sulungku yang minta masuk pondok ketika SMP. Hal itu kami dukung sepenuhnya. Tentu saja karena itu hal yang baik, bukan? Atas keinginannya sendiri, tentu adaptasinya akan lebih mudah.

 Kami mendaftarkannya ke pondok tahfiz. Padahal waktu itu, si Sulung sama sekali belum punya hafalan. Jangankan 1 juz, dia hanya hafal juz'amma karena berasal dari SD negeri yang notabene nggak ada keharusan menghafal Al-Qur'an layaknya di sekolah Islam.

 Ketika mengikuti tes penerimaan, dia harus menghafal setengah halaman Al-Quran dalam waktu 30 menit. Soal diberikan ketika santri mulai dipanggil satu per satu, dengan kata lain 'hafalan di tempat'. Alhamdulillah, dia bisa melafalkannya dan diterima di pondok itu.

 Proses selanjutnya, kami harus bersedia menandatangani surat perjanjian yang menyatakan bahwa program di pondok tersebut adalah 3+3+1, yaitu 3 tahun MTs, 3 tahun MA, dan 1 tahun pengabdian. Jika keluar sebelum masa program berakhir, kami harus membayar denda.

 Entah karena bosan atau pengaruh hal-hal lain, dia selalu merengek minta pindah selepas MTs. Tentu saja kami menolaknya. Bukan karena tak mau membayar denda, tapi kami tahu kemampuannya dalam ziyadah dan murajaah yang luar biasa itu.

 Banyak temannya yang ketika masuk MTs sudah memiliki tabungan beberapa juz. Tapi, seiring berjalannya waktu, ternyata sulung kami mampu 'mengalahkan' teman-temannya itu. Bahkan menurut laporan dari pondok beberapa waktu lalu, sulung kami menempati peringkat ketiga seangkatannya dalam pencapaian tahfiz.

 Kami hanya bisa memberikan pengertian padanya, bahwa anak pondok pun bisa masuk perguruan tinggi negeri. Lalu, aku memberikan contoh tentang omnya yang diterima di UNNES meski berasal dari SMA yang ada di desa. Aku bandingkan dengan seorang teman yang lulusan SMA negeri favorit di kota kami, yang nyatanya tidak berhasil masuk di PTN mana pun. Jadi, kesimpulan yang didapat, bukan karena seseorang itu sekolah di mana, tapi individu masing-masing yang mau belajar atau tidak. Betul, nggak? 

 Sebenarnya, aku sendiri juga belum paham tentang proses penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri, karena belum pernah mengalaminya. Dulu setamat SMA, aku langsung bekerja dan ambil kuliah kelas malam di sebuah universitas swasta.

 Tapi, dari beberapa referensi yang kami dapat, seorang hafiz/hafizah bisa mendaftar ke perguruan tinggi melalui jalur tahfiz. Dan jika lolos, dia bisa memilih jurusan yang diinginkannya. Masyaallah. Hal itu pula yang aku sampaikan ke Sulung agar dia tambah semangat untuk segera hafizah 30 juz.

 Mengapa ada jalur demikian?

 Dari beberapa literatur yang aku baca, ternyata orang yang menghafal Al-Qur'an itu mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi. Jika dia mampu menghafal Al-Qur'an, tentu dia juga akan mudah menghafal yang lain. Seorang penghafal Al-Qur'an juga dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan. 

 Kami juga mendapat pencerahan dari seorang dosen PTN. Beliau mengatakan kalau saat ini, hampir semua perguruan tinggi membuka jalur tersebut. Mereka yakin, bahwa penghafal Al-Qur'an adalah siswa yang pandai dan mempunyai akhlak yang baik.

 Jadi, kalau bisa dari pondok, kenapa harus pindah?

Related Posts

Posting Komentar