Cerpen Patah Hati: Belum Saatnya

Posting Komentar
    Bola mata berwarna cokelat itu membuatku jatuh hati. Milik gadis berhidung mancung dengan warna kulit eksotik, serta rambut hitam panjang tergerai. Namanya pun sangat cantik. Raline.

    Dia salah satu penghuni kamar kos di lantai dua rumahku. Orangnya baik, ramah, rajin pula. Baru sebulan tinggal di sini.

    “Rumah Mbak di mana?” Aku iseng bertanya, ketika kami sedang menonton acara televisi di ruang keluarga. Wajar, ya, sebagai anak pemilik kos, aku juga ingin mengenalnya.

    “Aku asli Semarang. Tahu nggak, Semarang itu ada di propinsi mana?” tanyanya balik.

    “Tahu, dong. Di Jawa Tengah, ‘kan?”

    “Pinter ….”

    Aku terkekeh sejenak. Sepertinya, Raline suka humor juga. Pasti banyak yang tahulah, kalau Semarang itu ibukota Propinsi Jawa Tengah, mengapa juga dia bertanya.

    “Mbak Raline kerja di bagian apa?”

    “Keuangan,” jawabnya singkat, dengan mata terpana memandang artis Korea yang jadi bintang iklan, sedang melintas di televisi.

    Raline baru saja lulus kuliah. Kemudian, diterima bekerja di salah satu perkantoran dekat rumahku. Ada beberapa penghuni kamar kos di lantai dua, semuanya perempuan. Namun, hanya Raline yang mampu membuat hatiku berbunga-bunga. Dia begitu sempurna.

***

    Sabtu sore, aku melihatnya sudah berdandan rapi. Wajahnya ditaburi riasan tipis dan natural. Mengenakan busana kasual dilengkapi sepatu fantovel datar, dengan tas selempang kecil berwarna biru muda melingkar di bahu. Dia tampak menawan, membuat hatiku semakin tertawan.

    “Mau jalan-jalan, ya, Mbak?” Aku duduk di hadapannya. Sepertinya, Raline sedang menunggu seseorang di teras depan.

    “Iya, dong.” Raline tersenyum. Manis sekali. “Aku ingin menikmati suasana Kota Yogya. Mumpung ada waktu luang.”

    “Nunggu teman?” Aku bertanya lagi.

    “Iya. Kalau pergi sendirian nggak seru.”

    “Temannya cewek atau cowok?” Aku penasaran.

    “Cowok.”

    “Oh.” Aku menghela napas. Suasana hening sejenak.

    “Mbak Raline sudah punya pacar, ya?”

    Raline tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Ra-ha-si-a.”

    Aku penasaran dengan teman laki-lakinya. Seperti apa tampangnya, hingga membuat Raline main rahasia-rahasiaan. Apakah dia lebih tampan dariku? Kalau saja Raline tahu, di luar sana, banyak yang mengagumi ketampananku.

    Sebuah motor sport memasuki halaman rumahku. Motor dengan kombinasi beberapa warna disertai tulisan merk oli di tengahnya. Mirip yang dipakai pembalap idolaku, Marc Marques.

    Laki-laki itu tak sempat turun dan membuka helmnya, karena Raline bergegas menghampiri. Mereka berbincang sejenak, lalu laki-laki itu memberi Raline sebuah helm. Raline memakainya, lalu naik ke atas boncengan motor. Sebelum keluar dari halaman, Raline sempat melambaikan tangannya ke arahku.

    Aku berdiri, segera masuk rumah dengan muka masam. Enggan melihat Raline berlalu. “Huh!”

    Aku memang bodoh, tak sedari awal mengungkapkannya pada Raline. Kalau saja dari kemarin-kemarin aku jujur padanya, mungkin hari ini dia tidak akan pergi dengan teman laki-lakinya itu.

    Aku menghempaskan tubuh di atas ranjang. Sebuah headset menempel di kedua telinga. Kuputar lagu dari sebuah aplikasi musik yang ada di ponsel. Menatap langit-langit kamar, tak jarang aku tersenyum, melihat bayang Raline di atas sana.

    Sebuah ide terlintas di benakku. Aku akan mengungkapkan perasaan ini segera. Meski terlambat, tapi paling tidak, Raline tahu kenyataannya. Aku mulai menulis di kolom pencarian tentang cara menembak cewek paling romantis.

    Serentetan ide terpampang di layar. Baik berupa tulisan, ataupun video. Kubuka satu-satu, mencoba memilih mana yang cocok dan kira-kira disukai Raline. Pencarianku terhenti, ketika deru motor sport itu kembali memasuki halaman rumah.

    Aku menyibak tirai jendela kamar. Kulihat Raline tersenyum sembari menyerahkan helm. Dia tampak bahagia. Sayang, laki-laki itu tak membuka helmnya. Kalau saja aku tahu wajahnya, suatu saat akan kutantang dia jika bertemu di jalan.

    Raline masuk rumah. Aku pun keluar kamar sambil melongok jarum jam yang masih menunjuk di angka delapan.

    “Dari mana, Mbak?” Aku bertanya menyelidik.

    “Jalan-jalanlah.” Raline menjawab sambil berlalu, tanpa memedulikan ekspresi wajahku.

    “Jalan-jalan ke mana?” Aku bergegas menyusul langkahnya.

    Raline menghentikan langkahnya, lalu berpaling ke arahku seraya berujar, “ra-ha-si-a.” Kemudian, kembali membalikkan badan dan menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua.

    Aku kesal. Mengepalkan tangan kanan sambil mengerucutkan mulut. Kembali memutar kenop pintu, masuk kamar. Mengambil pena, lalu mencoret-coret kertas kosong yang masih tersisa di buku. Menumpahkan kekesalan di atas kertas yang tak bersalah itu.

    Entah sudah berapa banyak nama Raline yang kutulis. Nama itu seakan sudah terpatri di dalam hatiku. Tanpa sadar, mulutku menyebut namanya. “Raline.”

***

    Semburat merah keluar dari sisi timur bumi. Raline sedang menjemur pakaian yang baru selesai ia cuci. Semerbak harum menguar dari perasan pewangi pakaian yang menempel di cuciannya.

    Aku keluar kamar menuju ke halaman belakang tempatnya menjemur, masih menguap dan menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

    “Cowok ganteng sudah bangun,” sapanya ramah.

    Aku menatapnya pelan-pelan, semakin lekat. Dia seperti bidadari yang baru turun dari kahyangan. Calon istri yang sempurna.

    “Mbak Raline bangun jam berapa? Jam segini kok sudah selesai nyucinya.”

    “Tadi jam lima. Kamu saja yang bangunnya kesiangan.” Raline menyindir.

    Aku duduk di kursi plastik yang bersandar tembok belakang rumah. Melihatnya mengibaskan kemeja warna merah muda, yang kemudian ia gantungkan di atas jemuran aluminium. Aku benar-benar jatuh hati pada gadis ini.

    “Mbak ….” Bibirku terasa kelu, kembali rapat.

    “Ya?” Raline menoleh ke arahku.

    “Cowok yang semalam … itu cowoknya Mbak Raline?” Aku menggenggam kedua tanganku di atas kedua lutut yang bergoyang.

    “Memangnya kenapa? Cemburu, ya?” Raline terkekeh.

    Aku tak menjawabnya. Malu. Aku justru bertanya lagi. “Ganteng nggak Mbak, cowoknya?”

    “Ganteng. Dia baik dan pintar.” Tangannya berhenti menjemur. Kepalanya mendongak ke atas langit yang mulai terlihat membiru, lalu tersenyum. Mungkin membayangkan cowok itu.

    “Kalo sama aku … ganteng mana, Mbak?” tanyaku membuyarkan lamunannya.

    Raline tertawa.

    “Kok malah tertawa? Pasti ganteng aku, ya?”

    “Mau tahu jawabannya, apa mau banget?” Dia menggodaku. Ah, senyum itu ….

    “Mbak Raline malu, ya, mau bilang lebih ganteng aku.”

    Raline meletakkan sisa jemurannya. Mengambil satu kursi plastik, lalu duduk di dekatku. Meski belum mandi pagi, namun aroma tubuhnya masih wangi.

    “Kamu mau tahu, Dik? Kamu itu, masih kecil saja sudah ganteng, apalagi kalo sudah dewasa … pasti ganteng banget.”

    Aku tersipu. Aku yakin, Raline mengatakan yang sejujurnya.

    “Mbak Raline suka nggak sama aku?” Aku gugup menanti jawabannya.

    Sejenak Raline tampak kaget dengan pertanyaanku, namun kemudian tersenyum. “Mbak suka sama kamu. Kamu itu lucu!”

    Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghempaskannya disertai hentakkan bahu. Berpikir, inilah saatnya aku mengungkapkan perasaan.

    “Mbak Raline mau nggak pacaran sama aku?” tanyaku penuh harap.

    Raline tertawa lagi, kemudian terbatuk-batuk. Ia berdehem sebentar.

    “Dik, kamu tahu umur Mbak Raline berapa?” Raline malah balik bertanya.

    “Tahu. Dua puluh dua tahun, ‘kan?

    “Kok betul, sih. Wah … kamu sudah jago jadi mata-mata.” Raline terkekeh. “Sekarang Mbak mau tanya, umur kamu berapa?”

    “Empat belas tahun, Mbak.”

    Sekarang gantian Raline yang menghela napas. “Kamu itu terlalu muda untuk Mbak. Kamu masih sekolah, jajan masih minta uang sama ibu. Mbak Raline itu, pingin punya cowok yang sudah kerja, punya penghasilan sendiri. Maaf, ya, terpaksa dengan tegas Mbak harus menolakmu.”

    Inilah, untuk pertama kalinya aku jatuh cinta, lalu merasakan patah hati.

    -Selesai-

Ungaran, 30 Juni 2019

kisahpisces

Related Posts

Posting Komentar