Cerpen: Funni dan Pondok Tahfiznya

Posting Komentar
    Namanya Lutfunnisa. Kami memanggilnya Funni, anak pertamaku, yang lahir prematur di usia janin yang masih tiga puluh dua minggu. Gadis manis berkulit sawo matang, berhidung mancung, berambut ikal panjang, dan berkacamata minus empat. Tinggi badan di atas rata-rata teman sekelasnya dengan berat badan yang cukup ideal. Funni mempunyai sikap selain pendiam dan mandiri, juga dewasa. Dia suka membaca buku cerita, novel maupun buku pelajaran. Menyukai mi ayam, bakso, dan siomay. Dia selalu mengikuti mode. Seleranya tinggi, kadang dia tidak memedulikan harga ketika membeli baju, tas, ataupun sepatu sekolahnya. Sepertinya dia merasa lebih percaya diri ketika memakai barang-barang branded itu.

    “Funni besok SMP-nya pengin mondok ya Bu,” katanya kepadaku ketika dia masih kelas tiga di bangku sekolah dasar.

    “Pondok mana?” tanyaku kaget. Dulu ketika aku seumur dia, tak pernah tebersit pun untuk masuk pesantren. Bahkan untuk Funni, yang bersekolah di SD Negeri favorit di kota kami. Yang teman-temannya super gaul, di mana kebanyakan dari mereka bercita-cita ingin masuk SMP Negeri favorit juga.

    “Pondok mana aja. Terserah Ibu, tapi jangan yang ada hafalan Al-Qur'annya.”

    “Memangnya kenapa kalo ada hafalannya?” tanyaku lagi, penasaran.

    “Susah, Bu, apalagi kalo ditarget. Setahun harus hafal lima juz ... tiga tahun harus hafal lima belas juz ... kayaknya berat, deh, Bu.”

    “Kok, Mbak Fun tiba-tiba pengin mondok kenapa? Nanti kangen sama Ibu, lho ...,” candaku sambil membelai rambut panjangnya.

    “Biar tiap hari enggak ketemu Arya. Males, Bu, tiap hari lihat Arya.”

    Arya, adiknya yang hanya berjarak satu tahun lebih muda. Mereka sering bertengkar. Funni yang sensitif selalu membanting pintu kamar dan mencoret-coret dinding kamarnya ketika marah.

    Aku dan suamiku berembuk. “Alhamdulillah, kalo anak kita mau masuk pesantren atas kemauannya sendiri, ya, Bu. Insyaallah akan dimudahkan,” kata suamiku.

***

    “Amel sudah diterima di pondok Bu, dekat Candi Ratu Boko yang kemarin buat piknik itu,” kata Funni di suatu hari di akhir semester pertama kelas enam.

    Amel, sahabatnya sejak kelas satu yang sering main ke rumah. Sementara kami masih mencari pondok yang sesuai dengan harapan Funni. Tak kunjung ketemu. Hingga kami memutuskan untuk survei langsung ke Yogyakarta, di mana ada referensi dari beberapa teman dan saudara.

    Di sinilah kami pertama kali mengenal pondok ini. Pondok yang terletak di sudut ‘Kota Pelajar’ itu. Tak jauh dari Monumen Yogya Kembali yang lebih terkenal dengan nama Monjali. Memasuki gerbang depan yang terlihat sepi. Hingga sampai di depan asrama putri. Terdengar santriwati-santriwati yang sedang ziyadah -menghafal Al-Qur'an- di taman tengah pondok. Suasana baru yang kurasakan begitu nikmat luar biasa. Kami sepakat mendaftarkannya ke pondok ini. Pondok pesantren tahfiz!

    “Lho ... kok ada hafalannya ... aku tuh males kalo ada hafalan gini!” seru Funni.

    “Katanya terserah Ibu,” sahutku. Funni pun memanyunkan mulutnya.

    “Coba dulu, ya, Mbak Fun, siapa tau diterima. Pondoknya memang enggak sebesar pondoknya Amel, tapi Bapak dan Ibu merasa kamu akan cocok di sana. Lagi pula bacaan Qur'annya Mbak Fun kan bagus, tuh buktinya, ada piala dari TPQ,” pintaku agar Funni mau ikut tes seleksi masuk.

***

    Sehari sebelum tes masuk, Funni belajar menghafal lima baris surah dalam Al-Qur'an dalam waktu tiga puluh menit. Tak mudah baginya karena dia belum pernah melakukannya. Hingga dia jenuh dan marah.

    Tes pertama yang harus dilaluinya adalah tes tahfiz. Funni mengambil gulungan kertas yang berisi soal tahfiznya. Dia masuk ruangan bersama calon santriwati lainnya. Kami, Ibu Bapak dan kedua adiknya, menunggu di taman tengah pondok itu. Funni keluar ruangan dengan senyum semringah.

    “Alhamdulillah, bisa!” serunya yang membuat hati kami sedikit tenang. Masih ada tiga tes lagi yang harus dilaluinya, salah satunya tes bahasa Arab yang sama sekali belum dia kuasai.

    Hari pengumuman pun tiba. Namanya tercatat sebagai salah satu santriwati yang diterima. Aku sengaja menjemput di sekolahnya lebih awal untuk bisa bertemu dengan guru kelasnya, dan meminta izin karena Funni esok akan ke Yogyakarta untuk registrasi ulang. Funni tak percaya dia diterima, tapi satu kata yang dia ucapkan, “Alhamdulillah!”.

***

    Tak terasa persiapan masuk pondok pun telah kami lakukan. Hingga saatnya kami mengantar Funni di hari pertamanya di pondok. Sampai di pondok, Funni langsung diantar Ukhty -panggilan untuk kakak kelas- masuk ke asramanya. Setelah merapikan seluruh bawaannya, kami meminta izin untuk pulang.

    “Ibu pulang dulu, ya.”

    “Funni juga ikut pulang ya, Bu ....”

    “Kan Mbak Fun pengin mondok,” kataku sambil memeluknya.

    Aku tahu, Funni masih berat berpisah denganku, hingga aku menyuruhnya masuk dulu karena aku tak mau gadis itu melihatku menangis.

    Selama seminggu sejak Funni di pondok, aku larut dalam kerinduan. Satu bulan kami tidak diperbolehkan untuk menjenguk ataupun meneleponnya. Hingga tiba kunjungan pertama kami.

    “Funni betah?” tanyaku sesaat setelah kami bertemu.

    “Alhamdulillah betah, Bu,” jawab anak gadisku itu yang sebulan di pondok sudah berubah sikapnya menjadi lebih manis. Cakap dalam berbicara dan lebih santun.

    “Bu, besok sudah mulai tahfiz. Enaknya Funni ambil yang berapa baris, ya, Bu, per harinya buat setoran. Lima, tujuh, sepuluh, atau ... satu halaman?”

    “Funni mampunya berapa? Enggak usah banyak-banyak. Nanti malah numpuk. Semampunya Funni saja, yang penting tiap hari lancar setorannya,” saranku.

***

    Di bulan selanjutnya, tiap Ahad ketiga, Funni boleh keluar pondok selama satu hari karena reward atas pencapaian target hafiznya.

    “Funni mau ke mana?”

    “Belanja, Bu.”

    “Oke.”

    Tiba di supermarket Funni langsung mengambil jajanan dan kebutuhan lainnya. Seperti biasa, tidak melihat label harganya. Hingga sampai di kasir.

    “Totalnya berapa, Bu?” tanya Funni setelah aku selesai membayar.

    “Kenapa? Mbak Fun mau ganti?”

    “Ya enggak ... tanya aja ... berapa, Bu?”

    Aku perlihatkan struk pembelian itu. Di sana tertera angka Rp356.450,00. Angka yang cukup fantastis untuk sekadar membeli jajanan selama sebulan.

    Hingga tiba di Ahad ketiga berikutnya. Funni minta diajak ke supermarket lagi.

    “Berapa, Bu?” tanyanya lagi.

    “Nih ....” Aku menyodorkan lembaran angka itu.

    “Alhamdulillah, turun, ya, Bu. Cuma Rp167.600,00,” katanya sambil tersenyum.

    “Kalo sedikit mau ganti?”

    “Enggak sih. Tapi kan aku sudah enggak boros. Jajan yang bulan kemarin juga masih banyak.”

    “Hahaha ....” Tawa bahagiaku seraya mengajaknya makan mi ayam di depan supermarket itu.

    Selanjutnya di tiap hari Kamis, kami diperbolehkan untuk menelepon.

    “Funni sehat?” itu adalah satu hal yang selalu kutanyakan di awal pembicaraan telepon.

***

    Tak terasa sudah satu semester Funni berada di pondok dengan aktivitas ketahfizannya. Pulang dengan membawa nilai yang sempurna buat kami. Tahfiznya sudah tiga juz (Juz 30, juz 29, dan juz 28). Awal yang bagus dengan target sekolah empat juz untuk santriwati kelas tujuh.

    Hingga waktunya kembali ke pondok tepat sehari sebelum Tahun Baru Masehi. Memulai perjalanan semester kedua bersama teman-teman tahfiznya.

    Suatu ketika pada Kamis kedelapan di semester kedua, ketika aku menelepon, Funni menangis tersedu-sedu.

    “Kenapa, Mbak?”

    “Teman-teman enggak ada yang mau duduk sama aku, Bu.”

    “Coba tanya sama teman-teman, ada masalah apa. Kalo Funni salah ya, minta maaf.”

    “Enggak mau....”

    Akhir dari percakapan hari itu membuatku gelisah. Aku tak mau hal itu mengganggu konsentrasi tahfiznya. Kuberanikan diri untuk meminta tolong wali kelasnya, Ustazah Dewi. Dan ini pun jawaban beliau.
Assalamualaikum Ibu, Alhamdulillah saya sudah ngobrol dengan Funni. Dari ceritanya, dia tidak suka kalo kumpul lama-lama. Takutnya malah ngrumpi enggak jadi tahfiz. Ini yang membuat teman-temannya salah paham. Insyaallah ini tidak mengganggu tahfiznya. Alhamdulillah semua bisa diselesaikan, teman-teman sudah mau memahami sikapnya.
    Alhamdulillah, Kamis berikutnya Funni meminta doa agar dimudahkan dalam ujian juz 26-nya. Itu artinya dalam dua bulan Funni mampu menghafal dua juz, juz 27 dan juz 26. Target yang dia buat sendiri. Satu halaman per hari. Masyaallah.

    Selesai.

kisahpisces

Related Posts

Posting Komentar