Cerpen: Si Tambun yang Jago Matematika

Posting Komentar
    Baru satu semester Amel mengenakan seragam putih abu-abu, dia sudah menjadi salah satu pusat perhatian di sekolah. Bukan hanya karena gadis manis berkulit coklat itu jago matematika, ramah dan mudah bergaul, tetapi juga tubuhnya yang tambun.

    Hari ini, mata pelajaran jam pertama adalah olahraga, sama seperti semester kemarin. Namun, kali ini ada yang berbeda. Tak hanya kelas Amel saja yang berada di lapangan, ternyata tim basket putra juga sedang berlatih untuk pertandingan satu bulan lagi.

    Pandangan para siswi menjadi tidak konsentrasi, sebab Bima—sang Kapten berpostur atletis yang duduk di kelas dua—juga ikut latihan di bawah ring basket.

    “Ayo, anak-anak. Konsentrasinya ke saya, bukan ke yang lain, ya!” perintah Pak Ari yang menyadari kalau siswi-siswinya lebih tertarik menatap sosok lain di lapangan sebelah.

    “Ya, Pak ...!” seru Amel dan teman-temannya.

    Amel yang mencuri-curi pandang di sela pelajaran, tertangkap basah oleh Bima yang saat itu tengah duduk beristirahat. Bima tersenyum hingga membuat gadis itu salah tingkah.

    “Kenapa, Mel?” tanya Ranti ketika melihat Amel tersenyum sendiri.

    “Tadi Kak Bima senyum ke aku,” kata Amel dengan senang.

    “Ah, ge-er kamu,” ejek Ranti.

    “Beneran. Tadi itu Kak Bima—.“ Ucapan Amel terpotong oleh suara Pak Ari yang lantang.

    “Baik, anak-anak. Pelajaran saya akhiri sekarang. Jangan lupa, minggu depan kita langsung penilaian memasukkan bola ke dalam ring dengan tiga angka. Terima kasih dan selamat siang.”

    “Siang, Pak ....” Amel ikut menyahut.

    Amel dan Ranti berjalan berdampingan menuju kelas untuk mengambil baju ganti, sembari menyeka peluh yang terus menetes. Usai berganti baju, Amel mengajak Ranti ke kantin.

    “Enggak salah, Mel, kamu pesan es jeruk tiga gelas?” Ranti tak percaya apa yang ia lihat.

    “Aku benar-benar haus, Ran,” jawab Amel sambil menyeruput es jeruk dari gelas ketiganya.

    “Enggak segitunya kali, Mel. Air es itu enggak baik untuk tubuh, bisa mempersempit pembuluh darah, sehingga memperlambat proses pencernaan. Pantas saja, lemak numpuk di perut kamu,” tegur Ranti.

    “Aku ‘kan enggak setiap hari minum es segini banyak, Ran.” Amel mencoba membela diri.

    “Tuh, lihat. Kakak-kakak kelas kita yang jadi pemandu sorak. Badannya langsing semua,” tunjuk Ranti. “Kak Bima dekat dengan Kak Dewi, lho. Pemandu sorak yang paling cantik itu.”

    Amel mengerucutkan mulut. Dia menatap tajam Dewi, lalu menunduk menatap perutnya, seolah membandingkan. Ranti tertawa melihat tingkah Amel.

    Amel yang jengah mengajak Ranti kembali ke kelas ketika Bima masuk kantin bersama tim basketnya. Amel yang sudah berdiri seakan tak mampu melangkah, melihat sang Kapten berjalan melewatinya sembari tersenyum. Gadis itu hanya terpaku.

    Ranti segera menariknya keluar dari kantin. “Gitu saja sudah grogi. Sadar dong, enggak mungkin juga kita bisa deketin Kak Bima.”

***

    Sepulang sekolah, Amel buru-buru menemui bundanya yang sedang membaca novel di teras belakang.

    “Bun, aku mau sedot lemak. Boleh, ya?” pintanya.

    Bunda yang kaget langsung meletakkan novelnya di meja. “Sedot lemak? Buat apa?”

    “Biar kelihatan langsing dong, Bun.”

    Bunda tertawa. “Ada apa ini, tiba-tiba ingin langsing? Hmm ... pasti karena cowok, ya.”

    Amel tersenyum, kemudian merajuk lagi. “Boleh ya, Bun?”

    “Amel, sedot lemak itu ‘kan mahal, mending uangnya buat persiapan kuliah kamu,” ujar Bunda.

    “Ayolah, Bun.” Amel mengerucutkan mulut sambil menggoyangkan kedua kakinya. “Atau korset pelangsing, Bun? Harganya ‘kan lebih murah.”

    “Amel pakai cara yang lebih murah saja, ya,” ujar Bunda.

    “Kelamaan dong, Bunda. Amel ingin yang cepat kelihatan hasilnya,” rajuk Amel lagi.

    “Kalau sekarang enggak bisa, Mel. Uang dari mana coba.” Bunda mengambil novel dan kembali membacanya.

    Amel yang sedikit kecewa segera meninggalkan Bunda. Dia masuk kamar, lalu membaringkan tubuhnya di atas peraduan, berpikir sejenak.

    Amel segera bangkit dan mengganti seragam sekolahnya. Kemudian, pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli jamu peluntur lemak. Dia sudah bertekad akan mengurangi berat badan.

    Malam sebelum tidur, Amel minum empat tablet melebihi aturan pakainya.

    “Biar cepat terasa hasilnya,” gumam Amel.

    Pagi menjelang. Perut Amel melilit ingin segera buang hajat. Tak cukup sekali, peluh pun ikut keluar dari pori-pori tubuhnya. Seluruh tubuh gemetaran, bulu kuduk pun ikut merinding.

    “Bun, hari ini Amel izin enggak sekolah dulu, ya?” pinta Amel.

    “Kamu kenapa, Mel? Kok pucat begitu,” tanya Bunda.

    “Semalam Amel minum jamu ini, Bun.” Amel menunjukkan bungkus jamunya. “Sekarang Amel ingin ke belakang terus.”

    Bunda terkekeh. “Amel, kalau mau langsing itu, enggak bisa instan. Semua harus ada prosesnya. Kamu bisa punya lemak seperti ini pun, juga butuh waktu bertahun-tahun, ‘kan?”

    “Ih, Bunda kok begitu, sih?” gerutu Amel.

    Bunda menghentikan tawanya. “Ya sudah, hari ini Amel istirahat dulu di rumah, sampai benar-benar berhenti mulasnya. Bunda akan telepon sekolah untuk meminta izin.”

    Amel sangat tersiksa seharian ini. Bolak-balik ke belakang membuatnya lemas. Bunda memberi air putih dan jus buah untuk membantunya terhindar dari dehidrasi.

    “Amel beneran mau langsing?” tanya Bunda.

    “Mau, Bunda.”

    “Amel harus atur pola makan dan banyak minum air putih. Makannya tetap tiga kali sehari, namun kandungan karbohidratnya dikurangi. Camilannya juga yang sehat. Satu lagi, Amel harus tetap berpikiran positif, karena sehat itu enggak harus langsing, lho. Gimana?” tantang Bunda.

    “Iya, Bunda. Siap laksanakan!” seru Amel.

***

    Keesokan harinya, Amel berangkat sekolah meski tubuhnya masih lemas. Ranti yang melihatnya, buru-buru menggoda.

    “Kamu beneran minum jamu pelangsing, Mel?”

    “Sudah deh, enggak usah dibahas lagi. Malu kalau didengar teman-teman,” kata Amel lirih.

    Ranti tertawa. “Eh, aku lupa kasih tahu. Kemarin Pak Seto nyari kamu, buat ikut seleksi olimpiade matematika.”

    “Beneran?” tanya Amel bersemangat diikuti anggukkan Ranti.

    “Aku tinggal dulu, ya. Mau nyari Pak Seto.” Amel segera berlari menuju ruang guru.

    Pagi ini juga, dua puluh anak ikut seleksi untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat nasional. Pak Seto membagikan soal seleksi. Amel dengan penuh percaya diri mengerjakan setiap soal lengkap dengan pembahasannya.

    “Hai, Mel.” Sebuah suara mengejutkan Amel ketika gadis itu keluar dari ruang rapat guru yang dipergunakan untuk seleksi.

    “H-hai, Kak.” Amel kikuk memandang Bima yang ternyata sudah keluar lebih dahulu.

    “Gimana tadi, lancar mengerjakannya?”

    “I-iya, Kak. Lancar.” Amel masih gugup.

    “Biasa saja, Mel. Enggak usah takut begitu. Aku enggak gigit, kok.”

    Amel senyum kikuk, memperlihatkan giginya yang putih. “Bukan takut, Kak. Tapi grogi.”

    “Aku bukan pejabat. Aku hanya siswa biasa sama sepertimu,” kata Bima.

    “Kak Bima ‘kan idola di sekolah ini.” Amel memperbaiki posisi duduknya. “Senang sih, akhirnya bisa ngobrol sama Kakak.”

    Dewi yang ikut seleksi pun, akhirnya keluar ruangan dan segera menghampiri mereka. “Selamat ya, Mel. Kamu satu-satunya anak kelas satu yang bisa masuk seleksi.”

    “Terima kasih, Kak Dewi.” Amel yang tak mau menjadi orang ketiga, buru-buru minta izin. “Maaf, Kak, Amel balik kelas dulu, ya.”

    “Enggak usah buru-buru, Mel. Yang ikut seleksi enggak wajib balik kelas, kok. Kita ke kantin saja, yuk! Aku traktir bakso,” ajak Dewi.

    “Tapi, Kak ... Amel lagi diet,” ujar Amel lirih, diikuti tawa Dewi dan Bima.

    “Sejak kapan kamu diet? Kayaknya dari kemarin-kemarin enggak berubah,” canda Dewi.

    “Mulai hari ini, Kak. Sejak melihat Kak Dewi di kantin kemarin lusa, aku memutuskan untuk diet.”

    “Aku punya suatu rahasia. Kamu mau dengar enggak?” Dewi melirik Bima yang sedari tadi hanya diam, namun matanya seakan tak berkedip menatap Amel.

    “Apa, Kak?” tanya Amel.

    “Dulu waktu kelas satu SMP, Bima pernah di’bully’ karena tambun juga, lho. Sebenarnya enggak tambun-tambun amat, sih. Tapi karena tubuhnya tinggi, dia jadi terkesan sangar gitu.”

    “Beneran, Kak?” Amel sedikit tak percaya membayangkan Bima bertubuh tambun.

    “Iya,” jawab Bima singkat.

    “Tapi usahanya patut diacungi jempol. Setiap pulang sekolah, dia berjalan kaki sampai rumah. Padahal jaraknya lebih dari 2 km. Sorenya, dia ikut renang. Makan nasinya juga dikurangi. Drastis banget!” kata Dewi dengan semangat.

    “Kok, Kak Dewi tahu? Berteman sejak SMP, ya?” selidik Amel.

    “Aku dan Dewi itu saudara sepupu, Mel. Rumah kami juga satu kompleks,” jelas Bima.

    “Ooo ....” Amel tersenyum senang mendengar penjelasan itu. “Kirain Kak Dewi dan Kak Bima pacaran.”

    “Aku bukan tipe-nya Bima. Dia itu, suka sama cewek manis berkulit coklat yang jago matematika kayak kamu,” kata Dewi sambil menyikut lengan Bima.

    “Apaan sih, Wi. Jangan bikin aku malu,” ujar Bima sambil tersenyum.

    Amel tersipu dengan kata-kata Dewi. Entah itu ditujukan untuknya atau orang lain, tapi sudah cukup membuatnya lega bahwa Dewi dan Bima tidak pacaran.

    “Dietnya ditunda dulu, ya. Sekarang ke kantin, yuk. Aku jadi lapar, setelah mengerjakan soal-soal tadi.” Dewi menggandeng tangan Amel diikuti langkah kaki Bima di belakang mereka.

    Selesai.

kisahpisces

Related Posts

Posting Komentar