Cerpen: Teror Mak Iyem

Posting Komentar
    Di hadapanku, tampak sebuah rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas. Pagar tembok dengan tinggi sekitar 2 m mengelilingi rumah itu. Jarak rumah tetangga pun tak terlalu dekat, sekitar 10 m di sisi kanan dan kiri. Sesuai keinginanku yang tak suka dengan keramaian. Namun, letak rumah ini cukup strategis, hanya 200 m dari jalan raya.

    Tumpukan kardus belum selesai kubongkar. Aku hanya membuka satu kardus yang isinya pakaian. Bergegas hendak menyegarkan diri di kamar mandi yang terletak di belakang rumah, setelah seharian sibuk mengurus kepindahan.

    Kamar mandinya bagus, berbentuk persegi dengan keramik berwarna cerah. Di dalamnya terdapat shower dan kloset duduk. Dari aromanya jelas tercium jika kamar mandi ini baru direnovasi. Begitu pun aksesorisnya, terkesan mewah untuk interior rumah kampung.

    Aku menggantung baju setelah mengunci pintunya. Memutar keran shower, lalu terbenam dalam guyuran air.

    Ceklek! Ceklek!

    Telingaku menangkap suara kenop pintu yang diputar. Seketika, kepalaku menyembul dari guyuran air shower, menatap lekat kenop itu. Kenop itu berputar dengan gerakan yang cepat.

    “Bentar, Mas! Belum selesai, baru juga masuk,” seruku. Namun, kenop pintu itu kembali berputar. Kali ini, putarannya lebih cepat.

    Aku menghela napas kesal. “Nggak sabaran banget, sih!”

    Aku membukanya, tetapi tak tampak seorang pun di balik pintu itu. Aku menggerutu, lalu kembali menutup pintunya. Melanjutkan ritual mandiku.

    “Nyebelin deh, lagi asyik mandi digangguin mulu.” Aku bersungut mendekati Mas Ifan yang tengah membongkar kardus lukisannya.

    “Siapa yang ganggu? Dari tadi aku bongkar-bongkar di sini, Nyonya,” ujarnya membela diri.

    “Kalo bukan Mas, terus siapa yang muter kenop pintu kamar mandinya?”

    “Mana Mas tau? Hantu kali … yang pingin kenalan sama kamu.” Mas Ifan mengerling sembari tersenyum.

    “Nggak lucu!”

***

    Malam belum sampai ke puncaknya. Udara terasa menusuk tulang, membuat aku dan Mas Ifan membenamkan diri dalam selimut.

    Byur! Byur!

    Mataku terbuka, lalu mengguncang tubuh Mas Ifan. “Mas, malam-malam gini kok ada yang mandi?”

    “Hem … tetangga mungkin, Dik.” Mas Ifan menjawab malas dengan mata yang masih terpejam.

    “Rumah tetangga ‘kan jauh, Mas. Nggak mungkin terdengar sampai sini.”

    Mas Ifan tak menjawab. Sepertinya, dia memang sudah benar-benar terlelap.

    Suara air yang mengguyur terdengar lagi. Sangat jelas dari kamar mandi rumahku.

    Seketika, degup jantungku berdetak lebih cepat dan bulu kuduk mulai meremang. Kuberanikan diri bangun dari kasur kapuk yang masih beralas karpet, sambil menyambar guling yang tadi kupeluk dalam selimut.

    Kubuka pintu kamar, menatap sekeliling yang gelap. Kedua tanganku menggenggam erat guling itu, bersiap jika tiba-tiba bertemu orang yang berani memasuki daerah teritorialku.

    Aku berjalan dengan merapatkan diri ke dinding. Satu persatu lampu ruangan kuhidupkan, hingga tiba di depan pintu kamar mandi itu. Dari ventilasi atas pintu, kulihat lampu di dalamnya belum menyala, tetapi suara kecipak gayung itu terus mengguyur.

    Saklar lampu kutekan, seketika lampu di dalam kamar mandi menyala terang. Suara guyuran itu pun tiba-tiba berhenti, membuat napasku semakin memburu. Guling di tangan siap mengayun, ketika aku mulai membuka pintunya dengan telapak kaki kananku.

    Kosong, tak ada seorang pun di dalam sana!

    Udara yang berembus melalui ventilasi pintu belakang, menyapu lembut rambut panjangku. Kurasakan, ada gerakan jemari merangkak naik ke bahu.

    “Aaarrgghh!” Aku menjerit histeris sambil menutup mata.

    Jari-jari itu meremas bahuku dengan keras, membuat tubuhku lemah serasa tak bertulang. Keringat dingin keluar dari pori-pori kepalaku, terus mengalir, membanjiri wajah yang semakin memucat.

    “Dik! Dik!” Tangan kekar itu mengguncang-guncang tubuhku.

    Mas Ifan membopongku kembali ke kamar. Aroma balsam menguar, menusuk tajam hidungku dari sela-sela rambut halusnya. Aku membuka mata pelan-pelan.

    Kurasakan tangan Mas Ifan mengurut dahiku. “Ada apa, Dik? Kenapa menjerit?”

    Telunjuk tangan kiriku terangkat dengan gemetar. “Di kamar mandi, Mas. Ada yang mandi … lalu, ada tangan yang menyentuhku.”

    Mas Ifan mengernyitkan dahi. “Di sana nggak ada siapa-siapa, Dik. Kamu sendirian. Ah, paling kamu cuma mimpi. Udah, ya, tidur lagi aja.”

    Aku mengangguk pelan.

***

    “Aku mau pulang ke rumah ibu saja, Mas. Aku takut di sini,” ujarku selesai kami sarapan.

    “Sudahlah, nggak ada hantu di rumah ini. Mungkin hanya perasaanmu saja. Temanku bilang, perempuan yang lagi hamil itu memang sensitif.” Mas Ifan menggengam erat tanganku.

    Aku menghela napas kesal. Mas Ifan tidak memercayaiku.

    Kami mulai berbenah rumah. Membongkar satu persatu kardus, lalu menatanya. Menyapu dan mengepel bagian dalam, hingga ke teras depan. Saat itulah, kulihat seorang perempuan renta tengah menatapku tajam dari luar pagar besi.

    Aku berjalan menghampirinya. Namun, suaranya yang galak menghentikan gerakanku yang hendak membuka gerbang.

    “Tinggalkan rumah itu!” Dia berseru. Raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan.

    “Kenapa, Nek?” tanyaku dengan suara bergetar.

    “Tinggalkan rumah itu, atau kamu akan menjadi korban berikutnya!” perintahnya lagi.

    Aku menoleh ke arah rumah sejenak, lalu pandanganku kembali ke luar gerbang. Nenek itu sudah tak ada di depanku lagi.

    Aku segera membuka gerbang, mencari sosok renta itu. Manik mataku menangkap gerakan langkah tua itu menuju ke rumah di sebelah kanan. Kali ini, aku menghela napas lega.

    “Kirain hantu juga,” gumamku sambil mengelus dada. Aku kembali menutup gerbang dan menguncinya.

    Masih pukul 7 malam, ketika aku menemani Mas Ifan membuat desain untuk cover novel milik temannya. “Tadi pas aku nyapu di depan, ada nenek sebelah yang datang ke sini. Dia bilang, kita harus tinggalin rumah ini kalo nggak mau jadi korban berikutnya. Eh, belum sempat aku tanya lagi, dia udah pergi.”

    “Terus, kamu percaya sama omongannya?”

    “Aku kan belum tau apa maksud nenek itu. Tapi, kalo ingat peristiwa semalam, aku bener-bener pingin pindah dari sini.”

    “Makanya, sebelum tidur berdoa dulu biar nggak digangguin jin dan saudara-saudaranya. Mereka demen tuh, sama perempuan yang lagi hamil.”

    “Apaan, sih, nggak lucu!” Aku memonyongkan bibir.

    Mas Ifan hanya tertawa kecil.

***

    Aku terbangun lagi dari tidurku. Kali ini, bukan karena suara guyuran air. Namun, rasa haus menyergapku hingga ke kerongkongan.

    Langkah malas mengiringiku menuju dapur. Dalam kantuk yang mendera, aku meneguk segelas air dingin yang baru saja keluar dari kulkas. Tak lama setelah itu, keinginan buang air kecil pun kurasakan.

    Mengingat peristiwa semalam membuatku enggan ke kamar mandi. Namun, pipis ini tak dapat lagi kutahan lebih lama.

    Pintu tak dapat kubuka, setelah aku buang hajat. Beberapa kali kutarik, pintu itu tetap tak bergerak, seperti ada yang menahannya dari luar.

    Aku hendak berteriak, ketika jari-jari kasar itu kembali meremas bahuku dari belakang. Aku bisa melihat sosok berambut putih dari cermin kamar mandi, tapi tak terlihat ketika aku menoleh ke belakang.

    Tungkai kakiku melemas. Seketika, aku jatuh ke lantai. Jari-jari itu perlahan mulai menekan perutku. Semakin lama semakin kuat. Darah segar pun mengalir dari kemaluan.

    Kepalaku seakan berputar, lalu samar-samar kudengar tangis bayi. Tak hanya satu, tangis bayi itu saling bersahutan, membuatku setengah tak sadarkan diri.

    Kemudian, jari-jari itu masuk ke perutku, menarik janin yang masih berumur delapan minggu. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Inginku berteriak, tapi mulut ini serasa dibekap.

    Pandanganku yang mulai kabur masih bisa menangkap sosok berambut putih itu melempar janin kecil yang masih bercampur darah ke dalam kloset. Satu persatu tangis bayi itu mulai berhenti, ketika aku benar-benar tak sadarkan diri.

    Jari-jari tua itu sedang memijat kakiku dengan minyak ramuannya, ketika aku mulai tersadar. Mas Ifan duduk di tepi kasur dan melihatku dengan wajah cemas.

    “Kamu baik-baik saja, Dik?”

    Aku menggeleng disertai isakan. “Bayi kita, Mas.”

    “Ikhlaskan, ya, Dik. Ini sudah kehendak Tuhan. Mas minta maaf tidak memercayaimu kemarin.” Mas Ifan terseyum sedih sambil mengurut dahiku.

    “Aku ingin pindah dari sini, Mas. Kita pulang ke rumah ibu saja.”

    “Ya, besok kita pindah. Aku akan cari rumah deket ibu. Kamu sabar, ya.”

    “Kemarin kan aku sudah ngomong, kamu harus tinggalin rumah ini sebelum kamu jadi korban berikutnya. Kalo sudah begini, kalian baru menyesal.” Suara galak nenek tetangga sebelah memotong pembicaraan kami.

    “Sebenarnya, ada apa dengan rumah ini, Nek?” Aku bertanya dengan suara pelan, hampir tak terdengar.

    Nenek itu mengambil napas panjang, sebelum memulai berbicara. “Dulu, rumah ini milik Mak Iyem. Dia dukun beranak yang sering membantu mengaborsi, lalu orok-orok itu ia buang ke jamban. Waktu Mak Iyem masih hidup, rumahnya nggak seperti ini.”

    “Lalu, siapa yang merenovasinya, Nek?” tanya Mas Ifan.

    “Anak-anaknya memperebutkan rumah ini sebagai warisan, setelah Mak Iyem meninggal. Akhirnya, sedikit direnovasi biar harganya jadi tinggi. Mungkin arwah Mak Iyem marah. Ia kembali mengambil janin dari orang-orang yang membeli rumah ini. Anak kalian korban ketiga,” terang Nenek itu.

    Aku menatap Mas Ifan. “Kalo kita pindah, apakah rumah ini akan kamu jual, Mas?”

    Mas Ifan terdiam sejenak mendengar pertanyaanku. “Entahlah. Itu kita pikirkan nanti saja. Hanya saja, aku tak ingin orang lain mengalami peristiwa seperti ini. Cukup anak pertama kita yang menjadi korban terakhirnya.”

    Selesai.

kisahpisces

Related Posts

Posting Komentar