Tanah di Jalur Salatiga-Kedungjati

Posting Komentar
Pakbud masih cuti. Hari ini, doi ngajak aku jalan-jalan ke Bringin. Tepatnya ke jalur Salatiga-Kedungjati.

Kami berangkat jam 10. Biasalah, aku harus menyelesaikan pekerjaan rumah terlebih dahulu.

Perjalanan yang sebenarnya nggak disangka. Kalo dari Ungaran ke Tuntang, sih, udah sering, ya, jadi tahu jalurnya. Nah, mulai jalur Tuntang-Bringin itu yang belum pernah aku lalui. Lah, kurang piknik benar, ya.

Jalur ini melewati Tlogo Resort & Gua Rong View. Lebih dekat ke Tuntang, sih, destinasi wisata ini. 

Dari situ, kami masih lurus melewati Pasar Bringin. Pakbud juga nggak nyangka kalo perjalanannya belum sampai tujuan. Doi mengira, tujuan kami dekat pasar itu. 

Kami masih lanjut melewati alas. Hem, alas apa, ya, aku kok nggak ngeh. Kayak yang punya Perhutani gitu. Tapi bukan karet, sih. Yang pasti tempatnya adem.

Perjalanan masih lurus. Sebelum Balai Desa Nyemoh, kami belok kiri, masuk kurang lebih 500 meter. Di sini, kami menunggu makelar tanah. Lah, kapling lagi.

Tanah yang kami survei kali ini berupa tanah kebun. Ada beberapa pohon pisang di lahan seluas hampir 1.100 meter persegi itu. Wow, tanah seluas itu hanya dijual seharga 70 juta!

Tanah itu sebenarnya bisa dibilang hook. Jalan depan udah beraspal meski rusak. Sekitarnya, masih dikelilingi dengan kebun juga.

Aku mengamati kondisi sekitar. Jarak 100 meter dari tanah itu, ada pemakaman umum. Duh, hatiku udah minta mundur. 

Bukan kenapa-kenapa. Kami udah terbiasa dengan makam. Kan rumah yang kami tinggali sekarang, berhadapan langsung sama gerbang makam. Tapi justru karena itulah, berdasarkan pengalaman, sekarang aku menghindari permukiman dekat makam. Beda sama Pakbud yang kayaknya nggak kapok, beli kapling di Kalisegoro yang ternyata dekat sama makam.

Kami cuma sebentar di daerah Nyemoh itu. Selain nggak klik sama kondisi sekitar kebun, pikiranku juga terbagi karena harus segera bersih-bersih BRT buat pertemuan BKR/BKL.

Pakbud mengajak kami buat mampir dulu ke angkringan yang ada di sisi kiri jalan pas alas Perhutani itu. Kami memesan degan ijo plus tahu gejrot.

Sudah lewat jam 11 siang. Kami kembali melewati Tuntang. Sebelum sampai  Kopi Banaran, hujan turun. Lumayan deras. Aku sampai berdoa, semoga Ungaran nggak hujan, karena jemuranku masih di luar.

Ternyata hujannya cuma sampai di Bawen. Lepas itu, cuaca masih panas seperti ketika kami berangkat tadi.

Tapi ... eh, loh, kok yang dari arah berlawanan udah pada pakai jas hujan?

Mendekati Ungaran, hatiku tambah nggak karuan. Aspal barusan basah. Duh, cucianku!

Benar saja, jemuranku basah semua. Yang seharusnya sudah kering, sekarang basah lagi.

Aku pengin mengumpat, tapi buat apa? Semua udah terlanjur. Pakbud cuma bantuin mindahin jemuran ke carport yang sebenarnya nggak aku sukai. Secara etika, aku nggak suka ada jemuran di depan rumah. Saru!

Selesai bebersih badan, aku tidur siang buat nenangin pikiran. Pakbud janji mau bersih-bersih BRT habis sholat Asar di masjid.

Ya, begitulah. Soreku tadi ada di Balai RT, menyambut tamu dari ibu-ibu penggiat BKR/BKL RW.

Alhamdulillah, meski aku harus memakai rok yang masih basah karena kehujanan, acara berjalan lancar.

kisahpisces

Related Posts

Posting Komentar