Siang ini setelah menghadiri resepsi pernikahan tetangganya, Bu Aminah mengajak Pak Darto jalan-jalan ke sebuah mal. Meski sebenarnya enggan, tetapi Pak Darto tak ingin membuat kecewa hati istrinya itu.
“Pa, gaunnya bagus, ya?” kata Bu Aminah sambil menunjuk sebuah gaun hitam panjang berlengan pendek yang ada di etalase sebuah toko.
Pak Darto menghela napas, lalu tersenyum. Dia tahu maksud istrinya. Itu sebuah kode jika sang istri menginginkan sesuatu.
“Bagus,” jawabnya datar.
Bu Aminah tampak cemberut.
“Lo, kenapa? Emang jawaban Papa salah?”
“Jawabnya yang antusias dong, Pa.”
Pak Darto terkekeh. “Yang antusias itu seperti apa, Ma? Apakah Papa harus terlonjak kegirangan gitu?”
Kesal, Bu Aminah kembali berjalan sambil mendengkus. Dia merasa suaminya tak pengertian. Pak Darto hanya mengekor di belakangnya.
Lelaki setengah abad itu mengernyit, menyadari sang istri berjalan keluar mal. Segera dia mencekal lengan Bu Aminah.
“Jalan-jalannya sudah, Ma?” tanyanya lembut.
“Sudah! Kita pulang aja,” jawab Bu Aminah dengan ketus.
“Oke, kalo begitu.”
Perempuan yang lebih muda lima tahun dari suaminya itu kembali mendengkus, membuat Pak Darto mengelus dada. Sudah 23 tahun usia pernikahan mereka, hingga Pak Darto tahu tabiat sang istri.
Selama perjalanan pulang ke rumah, Bu Aminah lebih banyak diam. Dia sandarkan kepala ke jok mobil dengan pandangan ke luar jendela. Perempuan itu benar-benar kesal, meski ini bukan pertama kalinya Pak Darto bersikap seperti itu.
Sementara itu, Pak Darto pun tak ingin memulai pembicaraan untuk saat ini. Dia tahu ketika sang istri marah, percuma saja kalau diajak bicara. Pak Darto hanya ingin fokus mengemudi.
Setibanya di rumah, Bu Aminah bergegas masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Kemudian, duduk di kursi makan dan minum segelas air putih. Wajahnya masih masam.
Pak Darto yang sudah menunggunya di ruang tengah, berjalan menghampiri. Dia belai lembut rambut panjang istrinya itu. Namun, Bu Aminah menepisnya dengan kasar.
“Kenapa? Mama marah nggak jadi beli gaun tadi?”
Bu Aminah menghela napas kasar. “Papa selalu gitu, nggak bisa nyenengin istri! Papa nggak pengertian!”
“Kalo Papa nggak mau nyenengin Mama, tadi Papa nggak akan mau jalan-jalan ke mal. Kan Mama bilangnya mau jalan-jalan, bukan mau beli baju,” ujar Pak Darto lembut.
Bu Aminah mengerucutkan mulut, lalu membuang muka. Tampak napasnya yang tersengal.
Pak Darto menarik kursi di sebelah istrinya. Dia genggam tangan kanan belahan jiwanya itu.
“Boleh Papa tanya?” Pak Darto manarik dagu istrinya hingga kini mereka bertatapan.
“Untuk apa Mama mau beli gaun lagi? Hem?” tanyanya lagi dengan lembut.
Setelah berusaha menenangkan gejolak emosinya, Bu Aminah menjawab. “Tadi waktu kondangan, ada yang nyinyirin gaun Mama. Mereka bilang, setiap kali ada acara, kenapa Mama selalu pakai baju yang itu-itu terus? Mama kan malu, Pa.”
“Kenapa mesti malu, Ma? Gaun Mama masih bagus, kok. Masih pas di tubuh Mama. Mereka iri aja, kali, lihat tubuh Mama yang masih singset ini,” sahut Pak Darto.
“Apa Papa juga nggak malu? Ntar dikira orang-orang, Papa itu suami yang pelit, lo. Masa baju istrinya itu-itu aja.” Bu Aminah berdalih.
Pak Darto merasa kerongkongannya kering. Dia ambil segelas air putih dan segera meneguknya.
“Apakah menurut Mama, Papa ini orang yang pelit?”
“Kadang, iya!”
Pak Darto tersentak. Dia merasa kalau selama ini sudah sangat bijak mengatur pengeluaran. Bukannya tak percaya dengan sang istri untuk mengelola semua keuangannya, hanya saja dia sudah mempunyai ‘pos-pos khusus’ sejak masih lajang dahulu. Bahkan hingga saat ini, sang istri tak pernah mengeluh tentang uang belanja yang dia berikan.
“Papa pelit untuk hal apa?” tanya Pak Darto penasaran.
“Ya, contohnya kayak tadi. Pingin baju baru aja nunggu lebaran. Mama kan sudah bukan anak kecil lagi, Pa,” sungut Bu Aminah.
“Yang bilang Mama anak kecil itu siapa? Apa selama ini Mama beli baju hanya ketika bulan Ramadan?”
Bu Aminah menunduk. Dia ingat empat bulan yang lalu, Pak Darto membelikannya daster baru. Ketika itu, Pak Darto melihat daster lamanya sobek di bagian belakang. Keesokan harinya, lelaki tua itu mengajak Bu Aminah ke pasar dan membiarkan memilih daster baru.
“Itu kan beda, Pa.”
“Apanya yang beda? Sama-sama beli baju, ‘kan?”
Bu Aminah mendengkus kesal lagi. Kini, air mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Mama ingin gaun baru buat kondangan, biar nggak dikira bajunya itu-itu doang!” rengek Bu Aminah sambil memejamkan mata, berusaha agar air itu tak tumpah.
Pak Darto menarik napas dalam-dalam. Berpikir sejenak, merangkai kata yang bisa dimengerti Bu Aminah. Tentu saja dengan mempertimbangkan perasaan istri tercintanya itu.
“Mama sudah punya berapa gaun pesta?” tanya Pak Darto lembut, sambil mengelus lembut tangan istrinya.
Bu Aminah mengerjap. Beberapa saat dia terdiam, sepertinya sedang menghitung.
“Kayaknya ada lima di lemari, Pa,” jawab Bu Aminah kemudian.
“Lalu, seberapa sering Mama menghadiri acara?”
“Hem … paling sebulan dua kali. Itu pun pas musim hajatan. Selebihnya, ya, nggak dipake.” Bu Aminah menunduk.
“Apa gaun Mama sudah ada yang rusak?”
Bu Aminah menggeleng.
“Kalo Mama beli gaun lagi, apakah gaun itu juga akan jadi pajangan di lemari?” Pak Darto mengangkat dagu istrinya. “Mama nggak mau Papa kena hisab di akhirat kelak gara-gara bantuin Mama nimbun baju, ‘kan?”
Dahi Bu Aminah mengernyit. “Kok sampai ada hisab, sih, Pa?”
“Semua hal itu ada hisabnya, Ma, termasuk urusan baju. Buat apa, coba, beli baju sana-sini tapi nggak dipake? Mubazir, ‘kan? Alangkah baiknya uang itu kita sedekahkan daripada hanya jadi pajangan.”
Setelah meneguk segelas air putih lagi, Pak Darto melanjutkan. “Papa akan membelikan Mama gaun baru jika nanti memang sudah dibutuhkan. Bukan hanya sekadar keinginan semata.”
Bu Aminah berusaha mencerna kalimat-kalimat yang dilontarkan suaminya. Selama berumah tangga, dia tak pernah merasa kekurangan. Baik dari segi ekonomi maupun perhatian, Pak Darto selalu memenuhinya. Lelaki itu berusaha menjaganya dunia dan akhirat.
Baru saja senyum mengembang di bibir Bu Aminah, terdengar ketukan di pintu ruang tamu. Setelah mengecup pipi sang suami, perempuan itu bergegas ke arah pintu dan membukanya.
Tampak Bu Asih menjajakan dagangannya. Tetangga Bu Aminah yang masih satu RT itu adalah seorang janda dengan tiga anak yang masih bersekolah.
Sembari memesan jajanan hasil olahan tangan sang tetangga, istri Pak Darto itu menatap baju yang dikenakan Bu Asih. Terlihat olehnya bintik-bintik lubang di baju itu, pertanda tak lama lagi akan semakin melebar.
Bu Aminah segera masuk rumah dengan alasan akan mengambil uang. Begitu sampai kamar, dia melihat lemarinya. Bu Aminah mengambil beberapa potong baju yang sudah lama tak dipakainya, lalu dimasukkan ke dalam tas jinjing daur ulang.
Setelah membayar jajanan, Bu Aminah menyerahkan tas itu untuk Bu Asih. Bertutur halus agar tak menyinggung perasaan sang tetangga. Daripada hanya ditumpuk di lemari, bukankah lebih bermanfaat jika diberikan pada orang yang lebih membutuhkan?
--o--
Kota Serasi, 23 April 2020
Oleh: Dini Verita
*Pernah dikirim untuk dibukukan, tapi sampai sekarang nggak ada kabarnya :(
Posting Komentar
Posting Komentar