Jam di pergelangan tangan kananku menunjukkan pukul tiga sore ketika aku kembali memasuki kantor. Hari ini begitu melelahkan. Aku harus mengunjungi beberapa klien untuk menawarkan kredit.
Baru saja aku meletakkan tas jinjing di meja, Pak Sunyoto—Branch Manager tempatku bekerja—memanggil. Aku yang sedikit terkejut, segera menuju ruangannya dengan setengah berlari. Ini aneh, karena biasanya hanya Mbak Putri—sang manajer marketing—yang selalu mencariku.
Setelah mengetuk pintu, Pak Sunyoto mempersilakanku masuk dan duduk di sofa cokelat. Tak ada senyuman yang biasa menghiasi bibirnya. Tampak wajahnya begitu tegang, membuatku bergidik.
“Mbak Ana sudah berapa lama kerja di sini?” tanya Pak Sunyoto.
“Sudah lebih dari lima belas tahun, Pak,” jawabku mantap. Aku diterima bekerja di kantor ini setelah lulus kuliah.
“Jadi seharusnya Mbak Ana paham, ‘kan, peraturan di marketing?” tanyanya lagi.
Aku terdiam sambil menggigit bibir bawah. Aku memang paham semua peraturan itu, baik tertulis maupun tak tertulis. Hanya saja, ada beberapa hal yang tak bisa kutolak untuk mengingkarinya.
“Ya, Pak.” Aku mengangguk pelan.
Terdengar helaan napas berat dari hidung Pak Sunyoto.
“Sudah berapa lama Mbak Ana melakukannya?” Pak Sunyoto menyodorkan sebuah map merah padaku.
Aku raih map itu perlahan, lalu membukanya. Ada berkas-berkas debitur dan rekening koranku. Aku menelan ludah, mengetahui maksud pembicaraan atasanku itu.
Pak Sunyoto menatapku tajam. Aku membalasnya dengan memalingkan muka, lalu menunduk.
“Dengan rasa menyesal, kami harus memecat Mbak Ana karena hal ini tak dapat ditolerir lagi. Ini menyangkut nama baik perusahaan, Mbak. Dan saya tidak bisa menjamin, Mbak Ana akan berhenti melakukan itu.” Pak Sunyoto memberiku sebuah amplop. Dari perihal yang terpampang jelas di muka, aku tahu itu surat pemecatanku.
Mataku mengerjap, berusaha menahan genangan air yang siap turun. Aku segera menyampaikan permintaan maaf dan memohon diri dari hadapan Pak Sunyoto. Ini sungguh mendadak untukku.
Aku kembali ke meja kerja dengan langkah gontai. Pikiranku kacau, memikirkan langkah untuk tetap hidup selanjutnya. Segera aku kemasi barang-barangku, tanpa memedulikan pertanyaan dari teman-teman. Aku tak sanggup menatap mereka.
Aku keluar kantor dengan senyum yang kupaksakan, menuju mobil yang baru lima bulan dicicil. Dengan kedua tangan memegang kemudi, kupandangi kantor megah itu untuk terakhir kalinya. Aku tersentak dari lamunan tatkala mendengar dering ponsel. Tertera nama Desta—putra sulungku—menelepon.
“Ma, pulang kerja nanti, beliin donat 2 boks sama ayam krispi, ya. Di restoran cepat saji seperti biasanya. Nanti malam teman-temanku mau main ke rumah. Oh, ya, Ma, depositku habis, nih. Tolong isiin, dong, biar bisa order makanan sendiri,” cerocosnya.
Kepalaku semakin pening. Namun, aku tak pernah bisa menolak permintaan anak-anak.
“Ya,” jawabku singkat.
Hari ini, aku mendapatkan dua amplop dari debitur yang mengajukan kredit. Seperti yang sudah-sudah, hal itu dilakukan agar aku bisa segera membantu mencairkan kredit yang mereka ajukan. Ah, amplop itu sudah kuterima dengan senang hati. Nominal di dalamnya pun cukup menggiurkan. Namun apa boleh buat, aku tak dapat membantu mereka lebih jauh lagi.
Aku menuju sebuah mal yang sejalan dengan arah pulang. Di sana, terdapat dua restoran cepat saji yang dimaksud putra sulungku. Setelah menyelesaikan transaksi, aku segera pulang.
Mobil memasuki halaman tempat tinggalku, sebuah rumah di kawasan elite yang KPR-nya kurang lima tahun lagi. Aku malu jika harus tinggal di perumahan biasa. Suamiku bekerja sebagai marketing asuransi, sedangkan aku marketing perbankan.
Desta segera keluar setelah aku mematikan mesin mobil. Dia meraih pesanannya, lalu mendahului masuk rumah. Aku melihat Lulu berusaha meminta.
“Ini buat teman-teman Kakak!” teriak Desta.
Lulu segera menghampiriku. Wajahnya tampak cemberut.
“Mama pilih kasih, kenapa selalu Kak Desta yang dituruti?” gerutu Lulu.
“Itu memang pesenan Kakak, Lu. Kamu mau apa, nanti Mama orderin,” sahutku.
“Asyiiik!” Lulu berseru riang.
Lulu menyebutkan beberapa menu makanan. Aku pun segera memesan lewat aplikasi pesan antar.
“Ma, tadi dicariin Tante Ratih,” lanjut Lulu.
Ah, nama itu. Dia tetanggaku yang mengordinir arisan perhiasan di perumahan ini. Sudah tiga bulan aku tak membayar, setelah mendapatkan arisan itu. Perhiasan emas putih yang kini menghias di tubuhku.
Aku mengurut kening. Sejenak merebahkan diri di sofa panjang, sambil memandang kedua anakku yang tengah bermain playstation.
“Papa belum pulang?” tanyaku pada mereka.
“Belum, Ma,” jawab Lulu, sedangkan Desta hanya mengangkat bahu.
Sudah satu bulan ini, suamiku sering pulang telat. Entah apa yang dilakukannya. Setiap kali aku bertanya, dia selalu menghindar. Bahkan, tak jarang dia membentak agar aku tak mencampuri urusannya.
Terdengar suara bel pintu. Aku minta Lulu untuk membuka pintu gerbang.
“Ma, Tante Ratih datang lagi,” bisiknya.
“Aduh, Mama capek. Bilang aja Mama lagi tidur.” Aku mengendap-endap masuk ke kamar setelah Lulu kembali ke pintu depan.
***
Seperti biasa, setiap pagi aku mengantar anak-anak ke sekolah. Desta duduk di kelas 1 SMA, sedangkan Lulu kelas 2 SMP.
Suamiku belum bangun ketika aku kembali ke rumah. Aku menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah yang tertunda, hingga mendengar suara bel pintu.
Hatiku berdebar. Aku mengintip dari tirai jendela ruang tamu, ingin tahu tamu yang datang. Untungnya bukan Ratih, hanya seorang pria berjaket hitam. Kubuka gerbang untuk menemui pria itu.
“Cari siapa, ya, Pak?” tanyaku.
“Maaf, apakah ini benar rumahnya Ibu Ferana Rahmaningtyas?” tanyanya balik.
“Betul, itu saya. Maaf, ada perlu apa, ya?” Aku menyelidik.
“Saya dari kartu kredit, Bu. Ini tagihan Ibu sudah tiga bulan belum dibayar,” ujarnya tajam sambil menyodorkan beberapa lembar tagihan padaku.
Aku tersentak. Kalau tahu orang itu tukang tagih, tak akan aku bukakan pintu.
Aku mendengkus lemah. “Ya, nanti aku bayar, Pak.”
“Ya, harus dong, Bu. Udah berani pakai, ya, harus berani bayar pula. Jangan seenaknya, nama Ibu bisa masuk ‘daftar hitam’, loh.”
“Iya, iya, saya tahu,” sahutku sewot. “Udah, ‘kan?”
“Untuk sementara itu saja yang perlu saya sampaikan. Saya permisi, Bu. Terima kasih.”
Tak aku jawab salamnya. Aku kembali masuk rumah. Kulihat jam di dinding masih menunjuk angka 7 lebih sedikit.
Kulempar tagihan itu ke meja makan. Angka di bawah kata jumlah terlihat fantastis, hampir menyamai gajiku satu bulan di kantor yang baru kemarin aku tinggalkan. Rinciannya tak aku lihat. Aku sudah tahu transaksinya hanya dengan memandang barang-barang yang ada di rumah. Sofa panjang, tas pesta, playstation, juga sepatu dan baju untuk anak-anak.
Aku mendengar suamiku menguap lebar. “Loh, nggak berangkat kerja, Ma?”
Aku mengulum senyum. “Kenapa kamu juga belum berangkat kerja?”
“Kok jadi marah, sih? Aku kan nanya baik-baik.” Suaranya mengeras.
Beberapa saat, aku memejamkan mata. Kemudian, menatapnya tajam.
“Kemarin aku dipecat. Sekarang, kamu harus lebih giat dalam bekerja. Banyak cicilan yang harus kita bayar!” ucapku ketus.
“Hah! Kamu yang berutang, kenapa aku yang disuruh bayar?” Dia membela diri.
“Kamu kan suami aku, sudah kewajibanmu untuk menafkahi!” sahutku ketus.
“Kamu yang nggak tahu diri. Utang sana-sini enggak pake perhitungan!” serunya kesal.
Suamiku berlalu dan masuk kamar mandi. Dia pergi meninggalkan rumah tak lama setelah itu, membawa mobil yang baru dicicil satu tahun.
Suara bel pintu kembali terdengar. Aku mengintip lagi dari tirai jendela.
Aduh, ngapain si Ratih datang lagi? batinku kesal.
Bel itu tak berhenti. Bahkan, suara Ratih turut mengiringi.
“Jeng Ana, saya tahu kalau Anda di rumah, loh!”
Dari tirai, dapat kulihat beberapa ibu sosialita perumahan ini datang menyusul. Baru tiga bulan tidak membayar saja sudah dikeroyok seperti ini.
“Bisa kita bicara sebentar, Jeng?”
Suara bel kembali berbunyi dan suara-suara lain ikut menimpali.
“Bisa beli mobil tapi enggak bisa bayar arisan itu gimana, sih?”
“Ah, bohong juga kalau belinya tunai. Paling juga kredit. Jaga gengsi aja dia!”
“Lagaknya aja yang seperti orang kaya.”
“Tiap hari makannya pesan antar, loh, pamer sama tetangga yang lihat nama restorannya!”
Telingaku memanas. Segera aku tutup dengan kedua tangan dan membiarkan mereka meracau, hingga akhirnya suara-suara itu menghilang dengan sendirinya.
Perutku mulai melilit. Aku lapar. Aplikasi pesan antar itu aku buka. Mataku membulat ketika menatap saldonya. Untung saja masih ada sisa dari amplop kemarin, jadi aku masih bisa bayar tunai.
Aku segera membayar ketika pengantar makanan itu datang, lalu buru-buru masuk rumah dan mengintip dari tirai jendela ruang tamu. Ratih yang sepertinya melihatku keluar, tampak terengah-engah ketika sampai di depan gerbang. Wajahnya tampak kesal. Namun tak lama setelah itu, dia pergi juga.
Aku memutar otak. Tagihan kartu kredit dan tunggakan arisan perhiasan sudah di depan mata. Jelas-jelas mereka mengejar dan aku tidak bisa tinggal diam. Meski berat hati, kuputuskan untuk menjual perhiasan itu. Tak ada pilihan lain, karena aku sudah tak punya uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selama ini bergantung dari ‘amplop’ debitur.
***
Sudah tiga bulan aku tak bekerja. Bukannya tak berusaha, tetapi tak satu perusahaan pun yang membalas lamaran kerjaku.
Aku semakin pusing. Uang penjualan perhiasan sudah hampir habis. Beberapa kali pula pihak kartu kredit menyambangi rumahku. Meski tak lagi kutemui, mereka tetap gigih memencet bel yang ada di sisi gerbang itu. Begitu pula dengan ibu-ibu sosialita perumahan. Meskipun aku sudah keluar dari WAG, mereka terus menerorku lewat jalur pribadi.
Mobil yang belum setahun kumiliki itu pun, sudah diambil pihak dealer. Suamiku tak mampu membayarnya. Gajinya sudah dipotong untuk membayar angsuran mobil yang dia pakai.
Hari ini, sebuah surat aku terima lagi dari bank tempatku bekerja dahulu. Bukan panggilan untuk bekerja kembali, melainkan surat peringatan ketiga untuk membayar KPR. Ya, aku juga tak lagi bisa membayarnya sejak dipecat waktu itu. Mereka memberiku waktu satu bulan lagi. Jika tidak, rumah ini akan disita.
“Kalau sudah seperti ini, kamu bisa apa, Ma?” Suamiku menyentak. “Aku bahkan sudah lelah dengan gaya hidupmu.”
Aku mendengkus kesal. “Bukannya bantu malah nambah-nambahi pusing!”
“Apa yang bisa aku bantu? Selama ini saja kamu nggak pernah menganggapku. Kamu terlalu sibuk dengan gengsi, nggak peduli gaji yang sudah habis buat bayar cicilan!” ketusnya. “Sudahlah, aku mau pergi!”
Aku melongo. Suamiku tak mau lagi membantu. Kini, masalah itu harus kuhadapi sendiri. Dia tak kembali ke rumah sejak saat itu.
Aku membuat iklan untuk menjual rumah. Namun, setiap pembeli yang datang, mereka menanyakan sertifikatnya. Mereka pun mundur ketika aku berusaha menjelaskan. Sebegitu sulitnya menjual rumah dalam waktu yang terbatas.
***
Aku hampir gila. Kuputuskan untuk kembali ke rumah orang tua setelah mendapat surat penyitaan itu, meninggalkan rumah mewah kebanggaan anak-anak. Hanya membawa sedikit perabot karena beberapa barang sudah aku jual untuk menyambung hidup sebulan ini.
Tak semudah yang kubayangkan. Di sini pun, aku masih diteror pihak kartu kredit dan ibu-ibu sosialita. Sepertinya mereka tak mengenal lelah, sama seperti diriku yang dahulu mengejar kemewahan.
Aku kasihan pada Desta dan Lulu. Mereka menjadi bahan ejekan teman-temannya. Bukan karena tak membayar uang sekolah, karena suamiku masih bertanggung jawab untuk itu. Namun kini, mereka harus naik angkutan umum ke sekolah dan tak lagi bisa hangout bersama.
Aku menitipkan Desta dan Lulu pada orang tuaku, berencana mencari pekerjaan di luar kota. Aku sudah tak peduli lagi pekerjaan apa yang nanti akan kudapatkan. Asalkan halal dan cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Aku tak mau lagi seperti dahulu.
Kemewahan dunia yang kurasakan hanya sementara, kini justru meninggalkan rasa malu sepanjang masa.
--o--
Oleh: Dini Verita
Kota Serasi, 25 April 2020
*Pernah dikirim untuk dibukukan, tapi sampai sekarang nggak ada kabarnya :(
Ihh keren bangett ceritanyaa, aku nostalgia sama cerita temenku mirip kayak gini. Percis. Akhirnya dia tetep ga sadar jg sih mbak. Masih kayak tupai, pandai lompat sana sini.
BalasHapusTerkadang musibah belum tentu menyadarkan seseorang ya, Mbak. Semoga temannya segera diberi hidayah. Aamiin. 🤗
HapusCeritanya bagus... Realistis di zaman sekarang. Menurutku endingnya kurang wow...
BalasHapusBtw, tulisannya rapi, kbbi dan puebi banget...
Terima kasih, Dok. Insyaallah diperbaiki lagi.
HapusYa Allah...stress banget ya hidup seperti itu. Mudah-mudahan kita terhindar dari hal-hal seperti ini.
BalasHapusAamiin. Kita yang hidup seadanya saja terkadang stres, ya. Hihi
HapusAku bacanya ikutan sesak kayak dikejar-kejar. Duh hidup kayak gitu nggak bisa tenang. Di kenyataan ada juga yg seperti ini.
BalasHapusSebenarnya ini inspirasi dari tetangga, Bu. Hehe.
HapusAku ikut tegang lho mbak. Ngerasain bgt peningnya doi. Tapi memang hidup semampunya itu kunci bahagia dan sdh dibuktikan nyata ;) bagus ceritanya buat reminder kita semua di zaman tipu tipu ini.
BalasHapus