Cerpen: Cintaku Kandas dalam Lift

Posting Komentar
Malam mulai merangkak. Sudah dua hari, aku melihatnya lembur di meja kerja dekat pintu kaca ruangannya. Seorang gadis yang dulu pernah mengisi hari-hariku semasa SMA.

Namanya Rachel, berpostur mungil dengan rambut sebahu. Model kacamata yang dia pakai serasi dengan hidung sedang dan bentuk wajahnya yang oval. Sedangkan aku, cowok berperawakan kurus tinggi dengan kulit kecokelatan.

Tak tampak seorang pun yang menemaninya di ruangan itu, sedangkan lampu di lorong gedung perkantoran ini sudah dipadamkan pelayan satu jam yang lalu.

Di sini, di depan lift tepat di hadapan pintu kaca itu, aku terpaku memandangnya. Lebih dari lima tahun kami tak lagi berkomunikasi, sejak dia memutuskan hubungan asmara ini.

Perlahan, aku melangkah mendekatinya. Tubuhku mampu menembus pintu kaca transparan itu. Kini, aku berdiri tepat di belakangnya.

Aroma parfum yang menguar dari tubuhnya masih sama seperti dulu. Namun, rambutnya terlihat lepek dan berminyak. Matanya fokus menatap layar komputer dengan jari yang cekatan menekan tombol-tombol keyboard.

Aku tergoda untuk menjahilinya, sama seperti yang sering kulakukan dulu. Aku sedikit membungkuk, mendekatkan wajah pada belakang kepalanya.

Kutiup tengkuknya sekali, dia tak merespons. Kutiup lagi, dia masih bergeming, hingga tiupan ketiga yang lebih lama.

Tangannya mulai meraba tengkuk. Tak lama kemudian, dia memutar badan. Wajahnya yang cantik menembus wajahku. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kulihat, keningnya mulai berkerut.

Namun, itu hanya sesaat. Dia kembali menekuni pekerjaannya, tak memedulikan godaanku. Sebuah senyum tersungging di bibirku. Kuakui, dia masih pemberani.

Aku melangkah keluar ruangan, berjalan di lorong gelap itu, lalu masuk ke sebuah ruangan di samping lift.

Aku ingin menampakkan diriku di hadapannya. Perlahan, kubuka pintu ruangan itu hingga berderit agar dia mendengar, lalu berjalan menuju lift. Dari balik pintu kaca, kulihat Rachel tampak terkejut.

Dia bergegas beranjak menghampiriku dengan senyum menawannya. “Ryan?”

Aku pun pura-pura terkejut dan balik menyapanya.

“Kerja di sini juga?” tanyanya. “Kok aku baru tau?”

“Aku sudah dua tahun di sini. Kebetulan, satu minggu ini aku dapat shift malam,” jawabku sembari tersenyum.

“Kamu … baru di sini?” Aku pura-pura bertanya.

“Iya, aku baru tiga hari kerja di sini.”

“Oh.” Aku mengangguk-angguk. “Sudah malam, kenapa belum pulang?”

“Pekerjaanku belum selesai. Eh, kamu kerja di bagian apa?”

“Aku teknisi gedung ini,” jawabku mantap sambil membusungkan dada dan menunjuk nama di dada kiri pakaian kerjaku.

Dulu, aku memang teknisi. Pekerjaan yang mengharuskanku naik turun ke semua lantai, di gedung bertingkat tiga belas yang terletak di pusat kota ini.

“Mau aku temani?” Aku menawarkan diri.

Rachel mengangguk. Dia mempersilakanku masuk ke ruangannya. Sebagai teknisi gedung, aku diperbolehkan masuk ke seluruh ruangan.

Aku duduk di kursi samping meja kerja Rachel. Memandangnya tanpa berkedip, mengingat masa-masa kebersamaan kami.

Sesekali, Rachel pun melirikku dengan senyuman. Bibir mungil yang hampir tak bersisa lipstik itu, sedikit menggodaku.

“Rasanya, ruangan ini bertambah dingin. Padahal, aku tak mengubah temperaturnya,” ujarnya sambil menggesekkan kedua telapak tangan.

“Aku matiin saja, ya. Semakin malam, suhu udara memang bertambah dingin.” Aku beranjak dari kursi hingga sedikit bergeser, lalu meraih remote control pendingin ruangan.

Aku tahu, bertambah dinginnya ruangan ini berasal dari suhu tubuhku. Hanya saja, Rachel tak menyadarinya.

“Oke, sudah selesai!” Rachel merentangkan tangan dan menghela napas panjang, setelah mematikan komputernya. “Aku pulang, ya.”

Aku mengangguk. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Rachel mengunci pintu ruangannya, lalu berdiri di sampingku, di depan lift lantai tujuh gedung ini. Sejenak, kami membisu. Tak ada yang memencet tombol turun.

“Ryan—“ Rachel berhenti berucap, menggigit bibir bawahnya.

Aku menoleh ke arahnya. “Ya?”

“Maafkan aku. Dulu … aku mengkhianatimu,” ujarnya lirih sambil menunduk.

“Ya, aku tahu.”

Rachel mengangkat wajahnya. “Kamu enggak marah padaku, ‘kan?”

Aku menggeleng, meski sebenarnya aku kecewa.

“Sudah malam, pulanglah!” Aku memencet tombol turun.

Pintu lift terbuka, kami pun masuk beriringan. Lift mulai bergerak turun.

Lampu di dalam lift mulai biarpet, mengikuti irama hatiku. Jari Rachel tampak bersiaga di tombol darurat.

“Enggak apa-apa, Rachel. Lampunya memang biasa seperti ini,” kataku sambil menyandarkan tubuh ke dinding lift, dengan pandangan tak lepas darinya.

Tatapan matanya tampak teduh, menciptakan kembali dawai asmara yang pernah mengalun di hatiku.

“Maaf, aku tak bisa mengantarmu keluar. Aku harus kembali ke atas,” ujarku setelah pintu lift terbuka di lantai dasar.

Rachel mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih padaku. Dia keluar, lalu membalikkan badan. Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangannya.

***

Pagi ini, Rachel terlihat lebih cantik. Wangi sabun dan sampo menguar dari tubuhnya. Rambutnya tergerai dengan jepit biru menyembul di atas kepala sebelah kanan. Jepit biru hadiah dariku pada ulang tahunnya yang kedelapan belas.

“Semalam pulang pukul berapa?” tanya seorang temannya yang duduk di kursi yang semalam kupakai.

“Pukul sembilan.” Rachel menjawabnya dengan santai setelah menghempaskan pantat di kursi.

“Nanti malam jangan lembur, Ra!”

“Memangnya kenapa, Nit?”

Nita—temannya itu—menggeser kursi, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Rachel. “Hari ini, tepat satu tahun terjadinya kecelakaan lift yang mengakibatkan seorang teknisi meninggal dunia.”

Wajah Rachel tampak pucat setelah Nita memperlihatkan fotoku di galeri komputernya. “Enggak mungkin, Nit!”

Rachel menutup mulut dengan kedua tangannya. Napasnya terdengar memburu. Nita bergegas mengambil air putih untuknya.

Seharian ini, Rachel terlihat tak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan mengurut kening. Aku ingin sekali membelai rambutnya, tetapi tangan ini tak bisa menyentuh.

Hari ini, Rachel pulang sesuai jam kantor. Tak ada kesempatan untukku berbincang dengannya.

***

Aku menunggunya di toilet. Aku tahu, setiap pukul sepuluh pagi, Rachel selalu menyambangi tempat ini. Aku tak peduli harus masuk toilet wanita.

Rachel keluar dari kamar kecil itu. Dia tampak terkejut melihatku di sudut toilet.

“Ryan, tolong, jangan ganggu aku!” katanya dengan suara bergetar. “Aku sudah tahu kalau kamu—“

Tubuhku berada di hadapannya hanya dalam sekejap mata. Rachel mengusap bulir bening yang mulai turun dari sudut matanya.

“Aku hanya ingin berbincang denganmu. Lemburlah malam ini!” pintaku.

Kaca-kaca itu masih mengembun di matanya. Rachel menggeleng cepat dan berlari keluar toilet, meninggalkanku dengan kesedihan.

Jam kantor pun berakhir. Kulihat, Rachel mulai mengemasi barang-barangnya, lalu melangkah menuju lift bersama teman-temannya.

Aku ikut masuk lift, menembus tubuh seseorang yang berdiri di sampingnya. Beban bertambah berat seiring pintu lift yang mulai menutup. Lampu kembali biarpet.

Seketika, terdengar suara-suara penuh kecemasan. Seseorang menekan tombol darurat berulang kali.

Kutiup tengkuk Rachel, memberitahunya kalau aku ada di sini. Rachel tampak memejamkan mata dan merapalkan doa.

Tubuhku terasa panas. Aku tak mengira, kali ini, Rachel yang menginginkan aku pergi.


--o--

Oleh: Dini Verita

*Telah dibukukan dalam buku "Jurai Pena Juara"
Kelas Pena Publishing, 2020

kisahpisces

Related Posts

Posting Komentar