“Nuri, bikinin kopi!” teriaknya padaku.
Setengah mengantuk, aku bangkit dari kursi di sisi meja makan—tempatku menunggunya. Kulihat jam yang menggantung di ruang tengah, hampir menunjukkan tengah malam.
Byan baru saja sampai rumah. Lelaki berusia 43 tahun itu, menghempaskan tubuhnya di sofa. Setelah melepas sepatu, dia membuka tas kerjanya.
“Sudah larut, Mas. Istirahat dulu aja,” ujarku sambil menghampirinya.
“Kerjaanku masih banyak. Besok pagi ada rapat dengan bos besar. Aku harus segera menyelesaikannya!” Byan menyahut dengan ketus. “Udah, buruan bikin kopi sana!”
Aku melangkah gontai menuju dapur, membuat kopi hitam panas untuknya. Sesuatu yang hampir setiap hari kulakukan, selama tujuh belas tahun pernikahan kami.
Saat ini, Byan bekerja sebagai direktur keuangan di salah satu perusahaan swasta terbesar di kota kami. Dia memulai karier dari bawah. Gigih dalam bekerja, membuat kariernya terus menanjak.
Kehidupan kami memang berkecukupan, tetapi Byan termasuk lelaki yang suka berhemat, malah cenderung pelit. Dia tak suka jika aku mempunyai asisten rumah tangga. Lebih memilih rumah sederhana di sudut perkampungan, daripada menghuni di kawasan real estat.
Buah cinta kami hanya satu. Namanya Rio, yang harus meninggal sepuluh tahun yang lalu karena demam berdarah, di usianya yang masih enam tahun. Kami tak kunjung diberi momongan lagi, setelah aku mengalami dua kali pendarahan sejak kepergian Rio.
Setiap hari, aku mendapat uang belanja yang hanya cukup untuk membeli lauk pauk sederhana. Tanpa ada tambahan lain untuk sekadar membeli sekotak cokelat batang kesukaanku.
Jarum jam telah melewati tengah malam. Itu berarti, hari telah berganti. Byan masih sibuk dengan kertas dan laptopnya. Aku menatapnya dalam kesedihan. Bukan hanya tahun ini saja. Tahun-tahun sebelumnya pun, Byan tak pernah ingat hari ulang tahunku.
Ponselku bergetar. Satu pesan WhatsApp masuk. Terlihat lukisan kue ulang tahun berbentuk hati berwarna merah, lengkap dengan lilin berbentuk angka “40”, terpampang apik menghias di layar.
Sejenak, aku tersenyum, lalu mengetik kalimat “terima kasih” untuk si pengirim. Dia, mantan pacarku sewaktu di sekolah menengah atas. Rendy tak pernah absen mengirim lukisan kue di hari spesialku, setiap tahunnya.
***
Matahari mulai merangkak meninggalkan subuh. Aku yang terlelap di meja makan, terkejut oleh bentakan Byan.
“Gimana, sih, kamu? Ikut-ikutan tidur! Aku jadi kesiangan ini!” sungutnya sambil berlalu menuju kamar mandi.
Bergegas, aku beranjak ke dapur menyiapkan sarapan.
“Aku enggak usah sarapan! Udah telat! Dasar istri enggak berguna!” Byan membereskan kertas-kertas pekerjaan kantornya yang masih tercecer di meja ruang tengah.
Dia melempar selembar uang berwarna biru ke arahku. Setelah itu, dia segera keluar rumah, lalu menaiki mobil klasik kesayangan. Mobil yang tak pernah dia ganti, sejak berpacaran denganku. Mobil yang selalu terawat. Berapa pun akan Byan keluarkan, demi menjaga keorisinalan kendaraan itu.
Ponselku berdering. Panggilan video dari Rendy. Kubiarkan dering itu mengalun.
[Angkat, dong, Nuri! Aku pingin lihat kamu, sebelum berangkat ke Jerman.] Pesannya setelah tiga kali aku tak mengangkat telepon.
Hatiku berkecamuk. Ingin sekali menekan tombol hijau itu, tetapi tak ingin Rendy melihatku sedang menangis. Setelah beberapa saat hening, ponsel itu kembali berdering. Kali ini, hanya panggilan suara.
Aku menerimanya. Dari seberang, suara berat itu kembali membuatku merindu. Dia bernyanyi, sembari memetik gitar. Katanya, itu lagu yang baru dia buat semalam, khusus untukku.
“Ngapain ke Jerman?” tanyaku setelah cukup lama kami berbincang.
“Aku diundang kedubes untuk pameran lukisan, sekaligus jadi guru sementara di gedung kesenian di sana,” jelasnya.
Ya, Rendy memang seorang seniman. Sejak sekolah, dia suka bermain musik dan melukis. Penampilannya yang acak-acakan, sering membuat guru-guru di sekolah kami geleng-geleng kepala.
“Lama di sana?” tanyaku lagi.
“Mungkin.” Sejenak dia terdiam, lalu menghela napas. “Aku kangen kamu, Nuri!”
Dadaku terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menghimpit. Mata dan hidungku pun mulai memanas. Setiap kali kami berkomunikasi, dia selalu mengutarakan hal itu. Sesuatu yang tak pernah Byan ucapkan.
“Jangan main-main dengan ‘kangen’, Ren! Ada hati yang harus kita jaga,” ujarku sembari menahan perih di dada.
“Aku tahu, tetapi rasa ini tak bisa berubah.”
“Bagaimana kabar istri dan anak-anakmu?” Aku mengubah topik pembicaraan.
“Mereka baik. Barusan aku ngantar istriku berangkat kerja.”
“Oh, kamu masih izinkan dia bekerja?” tanyaku penasaran.
“Daripada di rumah. Mau ngapain? Biarkan dia mengembangkan diri dan bersosialisasi. Itu akan lebih membuatnya bahagia,” jawabannya membuat hatiku semakin terhimpit.
“Terus, kalau kamu pergi, siapa yang masak dan mengurus rumah?” ujarku sedikit bercanda.
“Ah, itu gampang. Nanti tinggal cari orang,” sahutnya santai.
Aku memejamkan mata, menahan panasnya kelopak yang hampir mengeluarkan laharnya. Seandainya saja, aku yang menjadi istrinya.
Tak tahan, aku segera menyudahi percakapan, dengan alasan harus menyelesaikan pekerjaan rumah. Tubuhku luruh ke lantai. Kudekap kedua lutut dan menumpahkan lahar itu di sana.
Dalam bayang embun mata, kulihat botol kaca di dalam lemari. Botol pemberian Rendy yang telah kusimpan selama dua puluh tahun. Ada pasir putih dan beberapa kerang laut di sana.
Segera kuambil, lalu menuang isinya ke wadah yang lain. Buru-buru, kurobek selembar kertas, menulis curahan isi hati, kemudian memasukkannya ke botol itu.
Aku mengambil kunci motor dan segera melaju menuju pantai—tempat Rendy dahulu memberiku botol itu. Tepat di batu karang tempat kami memadu kasih, kulempar botol itu ke laut dan membuat pengharapan.
“Semoga Nuri menemukan botol ini dan memahaminya,” doaku dalam lirih.
***
Cowok berambut sebahu yang duduk di sampingku, di batu karang ini, terus saja bernyanyi sambil memetik gitar. Senyumnya selalu tersungging menatapku yang tersipu malu. Hari ini, dia mengajak ke pantai untuk merayakan hari ulang tahunku yang kedua puluh.
“Mau kado apa?” tanyanya lembut.
“Hm … aku pingin botol kaca yang ada pasir putihnya, seperti yang dipajang di toko tadi,” jawabku dengan manja.
Rendy merogoh kantong dan mengeluarkan dompetnya. Sekilas, dia melirikku.
“Sebentar, ya. Kamu tunggu di sini dulu!” ujarnya sambil tersenyum, lalu meninggalkanku.
Rendy mengamen dari satu pengunjung ke pengunjung lainnya. Suara beratnya sangat cocok menyanyikan lagu-lagu slowrock. Dia pun pandai mencipta lagu. Aku tersenyum melihat perjuangannya yang ingin membelikanku botol pasir itu.
Sejenak, aku mengalihkan pandangan ke laut lepas. Menatap birunya laut berpadu dengan birunya langit. Tiba-tiba, mata ini menatap botol kaca yang dibawa gelombang ke arahku.
Aku beranjak dari batu karang dan memungutnya. Sebuah botol yang mirip, seperti kulihat di toko depan pintu masuk tadi. Ada tali merah muda yang mengikat di tutupnya.
Ada gulungan kertas di dalamnya yang membuatku penasaran. Segera, kuambil dan kubuka gulungan itu. Sepertinya sebuah pesan.
Dear Nuri ….
Aku tahu, hari ini ulang tahunmu yang ke-20. Kamu meminta botol kaca ini pada Rendy, ‘kan? Dia laki-laki yang baik, Nuri. Dia akan lakukan apa pun untuk membuatmu bahagia. Kelak, ketika Rendy sedang mengisi acara di sebuah mal, kamu akan berkenalan dengan Byan Armadesta, suamimu di masa depan. Tolong, jangan khianati cinta Rendy! Kamu takkan bahagia bersama Byan. Simpan surat ini agar kamu selalu mengingatnya!
Kugulung kembali kertas itu. Dahiku mengernyit. Bagaimana surat ini tahu tentang aku dan Rendy? Siapa pula Byan itu?
Kumasukkan kertas itu ke kantong celana, sesaat setelah melihat Rendy melangkah mendekatiku. Kulempar senyum padanya, sambil mengayunkan botol kaca itu.
“Hei, dari mana kamu dapatkan botol itu? Baru saja aku akan mengajakmu ke toko depan!” serunya.
“Kudapat dari laut. Rupanya, Tuhan mendengar keinginanku.”
Rendy tersenyum, lalu meraih botol kosong itu. Dia mengisinya dengan pasir putih dan beberapa kerang yang ada di pantai. Kemudian, memberikannya padaku.
***
Hari ini, Rendy mengajakku ke mal di pusat kota. Dia mendapat pekerjaan untuk mengisi di sebuah acara talkshow. Rendy melantunkan lagu “Two Steps Behind” yang dipopulerkan Def Leppard dengan gitar akustiknya. Dia mampu membius pengunjung untuk bernyanyi bersama.
Setelah acara itu selesai, aku dan Rendy memutuskan untuk pulang. Kami berjalan menyusuri parkiran mobil, sebelum menuju parkiran motor yang ada di sudut gedung.
Aku melepas kacamata minus yang berembun. Baru saja terpegang, tiba-tiba tubuhku ditabrak seseorang dari belakang, membuat kacamata itu terlempar dan terlindas ban sebuah mobil klasik berwarna cokelat.
Orang yang menabrakku memang meminta maaf, tetapi dia berlalu begitu saja. Rendy mengejarnya, sepertinya hendak meminta pertanggungjawaban atas apa yang terjadi dengan kacamataku.
Aku segera berjongkok di samping mobil itu, memungut kacamata yang telah patah. Sang pemilik mobil pun turun dan meminta maaf. Dia hanya memberiku sebuah kartu nama.
“Silakan, Mbak bisa datang ke kantor saya! Nanti akan saya ganti kacamatanya. Maaf, saat ini saya enggak bawa cukup uang untuk menggantinya,” kata pemilik mobil itu.
Aku terpana melihat sorot mata dan penampilannya yang maskulin. Jauh berbeda dari Rendy. Namun, dia buru-buru pergi, meninggalkan pesonanya yang perlahan masuk ke mata hatiku.
Rendy yang setengah berlari, datang menghampiriku. “Orangnya enggak mau tanggung jawab. Dia bilang, itu enggak sengaja.”
“Udah, nggak apa-apa yang punya mobil mau ganti, kok. Nih, aku disuruh ke kantornya buat ambil uang.” Sejenak, aku membaca nama yang tertera di kartu itu. “Byan Armadesta?”
Rendy menatapku. “Kenapa?”
“Aku sepertinya pernah membaca nama ini. Sebentar ….” Aku segera mengambil dompet dari tas dan membuka lipatan surat dari botol yang aku temukan di pantai, enam bulan yang lalu. Kemudian, kuberikan pada Rendy.
Rendy mengernyit. “Kalau benar apa yang dikatakan surat ini, kamu enggak boleh menemuinya! Sini, kartu namanya!”
Rendy mengambil kartu nama itu dari tangannku, merobeknya, lalu membuangnya ke tong sampah. “Aku yang akan membelikanmu kacamata baru!”
Aku tersenyum. Rendy segera meraih bahuku dan kami melangkah bersama menuju motor bututnya.
--o--
Oleh: Dini Verita
*Telah dibukukan dalam buku "The Right Path"
DD Publishing, 2020
Posting Komentar
Posting Komentar