Gadis kecil itu berlarian. Rambutnya yang panjang tergerai, tersapu lembut oleh embusan angin. Gelak tawa pun mengiringi keseruannya bermain bersama teman-teman.
Aku begitu menikmati sosoknya dari kantin sekolah ini. Gadis cantik berkulit putih dengan tinggi di atas rata-rata untuk seusianya. Sosoknya yang begitu ceria, membiusku hingga tak mampu berpaling.
***
Aku membuka mata, seiring jantung yang bertalu tak berirama. Aku segera beristigfar mengingat mimpi yang sudah 12 tahun ini selalu menghantui malamku. Namun, mimpi malam ini terasa begitu menyesakkan, karena semalam aku melihatnya lagi secara nyata dalam suasana yang tidak tepat.
Aku memaksakan diri untuk bangun, meski kepala terasa sangat berat. Jam beker menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Hujan lebat di luar, mengantar hawa dingin masuk melalui kasa jendela kamar.
Setelah mengusap wajah, aku menuju kamar mandi dengan gontai. Kuambil air wudu untuk melaksanakan salat Tahajud. Air yang dingin itu, mampu membuat kepalaku sedikit ringan.
“Ya Allah, berikan aku petunjuk-Mu. Berikanlah aku ketetapan hati. Aamiin,” ujarku lirih dalam doa selesai salat.
Aku mengaji sebentar sebelum beranjak ke masjid untuk menunaikan salat Subuh berjemaah. Untung saja masjid itu ada di depan rumah, jadi tidak menghalangi semangatku untuk berjemaah meski hujan lebat mendera.
Umi sudah berada di dapur ketika aku pulang dari masjid. Terdengar beliau berselawat sambil meracik bumbu. Umi tersenyum ketika aku menghampirinya.
“Aku bantu, ya, Umi,” pintaku.
“Boleh. Tolong bumbunya dihaluskan, ya,” jawab Umi sambil memberiku ulekan.
Aku segera menghancurkan beberapa bumbu yang sudah Umi siapkan dengan tangan kekarku.
“Alhamdulillah, Umi bahagia banget karena kamu akhirnya segera menikah, Mal. Nanti siang, Umi mulai nyiapin hantaran pernikahannya.”
Seketika, tanganku berhenti. Bumbu yang aku ulek belum halus sepenuhnya. Aku mendongak, memandangi Umi yang tak berhenti tersenyum. Perkataan Umi tadi membuatku menelan ludah.
Semalam, Umi melamar seorang gadis untuk dijadikan istriku. Umi tidak rela kalau aku dilangkahi lagi. Ya, aku anak pertama dari lima bersaudara. Jarak usia kami tidak terlalu jauh. Adik pertamaku laki-laki, tetapi dia sudah menikah setahun yang lalu. Sementara, adik keduaku sudah dipinang dan akan menikah tahun depan.
“Diah itu gadis baik. Insyaallah, dia bisa jadi istri yang baik juga,” kata Umi sambil memanaskan minyak untuk menumis.
Sepertinya memang begitu. Diah selalu menunduk ketika acara lamaran semalam. Hanya satu kalimat yang terucap dari bibirnya kala menerima lamaran itu.
“Seberapa lama Umi mengenalnya?” tanyaku ingin tahu.
“Hem … kira-kira setahun. Dia rajin ikut kajian yang Umi adakan, lho. Sering bantu-bantu juga kalau komunitas Umi punya event.”
Umi memang dikenal sebagai ustazah. Beliau juga aktif di beberapa kegiatan sosial. Sosok ibu yang tegas, tetapi penyayang. Tangguh menghidupi kelima anaknya ketika harus ditinggal Abah berpulang sepuluh tahun lalu.
Cahaya matahari mulai menerobos melalui pintu belakang yang terkuak.
“Ikmal tinggal mandi dulu, ya, Umi.”
“Ya sana siap-siap. Habis itu sarapan bareng Umi,” sahut Umi.
***
Beberapa guru memberiku ucapan selamat ketika aku sampai di sekolah. Aku balas dengan senyuman dan ucapan terima kasih. Entah mengapa, hatiku tak ingin meminta doa restu dari mereka.
Ada yang mengganjal hatiku sejak acara lamaran semalam. Acara yang sekiranya menjadi awal kebahagiaanku itu, justru membuat kepala ini berat dan hati menjadi bimbang.
Pertemuan kembali dengan Tari—gadis kecil yang selalu menghantui mimpi malamku dan kini telah beranjak dewasa itu—mampu memorakporandakan hati yang semula siap menerima gadis pilihan Umi. Wajahnya tak banyak berubah. Bahkan sekarang, Tari tampak semakin cantik. Hidung bangir dan bibir tebalnya mengalihkan perhatianku dari acara lamaran itu.
Kuhempaskan pantat di kursi kerja. Meski pikiran dan hati sedang tidak bisa diajak kerja sama, tetapi aku harus tetap profesional mengajar hari ini. Apalagi, aku adalah guru Matematika untuk kelas XII. Aku harus mempersiapkan anak-anak didikku untuk menghadapi ujian nasional.
“Pak Ikmal, ini ada beberapa mahasiswa yang datang untuk mengajukan proposal PKL. Tolong Bapak terima dulu, ya,” kata Bu Rahma—guru Bahasa Indonesia di sekolah ini—di jam istirahat siang.
“Baik, Bu,” jawabku sambil mengangguk.
Aku segera menuju ruang tamu sekolah. Beberapa mahasiswa yang duduk di sana, seketika berdiri ketika aku mendekat.
“Selamat siang, Pak.” Mereka menyapaku hangat.
“Selamat siang.” Kujawab sambil menyalami satu per satu mahasiswa itu.
Namun, tanganku terhenti ketika menyalami gadis berkerudung biru muda. Gadis yang semalaman mengusik hatiku.
“Tari?” sapaku.
“Mas Ikmal, ya?” Gadis itu juga tampak terkejut. “Eh, salah panggil. Ya, Pak Ikmal.”
Rasa hangat yang mendarat di telapak dan punggung tangan, menjalar hingga ke hati. Paras cantik dan senyum ceria itu membuatku terpaku. Aku pun tersadar kala teman-temannya mulai berdeham.
“Oh, maaf,” ucapku, lalu melepaskan tangannya yang mulus itu. Astagfirullah!
Tentu saja aku merasa berdosa. Ini pertama kalinya aku menjabat tangan seorang perempuan yang bukan mahram. Apalagi, dia satu-satunya gadis yang kusukai sejak lama. Tepatnya, sejak aku duduk di kelas 3 SMA, sedangkan Tari masih kelas 2 SD. Kebetulan, kami bersekolah di yayasan yang sama.
Selesai berbincang dengan mahasiswa-mahasiswa itu, aku mengajak mereka makan siang di kantin sekolah. Bukan tanpa alasan. Aku ingin bisa berlama-lama memandang paras cantik yang mampu menggetarkan rasa itu. Lagi-lagi, aku hanya manusia biasa yang tak lepas dari hasrat.
Aku sengaja duduk di depannya. Teman-teman Tari pun sepertinya memberi kami kesempatan untuk berbincang. Siang ini, aku merasa sangat senang meski hanya sesaat.
***
“Asalamualaikum.” Aku mengucap salam ketika hendak masuk rumah.
Hari ini, aku pulang agak sore setelah menjamu Tari dan teman-temannya. Tampak Umi sedang menghias mukena yang akan dijadikan mahar pernikahanku.
“Waalaikumussalam,” jawab Umi saat kucium punggung tangannya.
“Udah hampir jadi, nih, Mal,” lanjutnya.
Aku hanya tersenyum karena sulit sekali mengeluarkan kata-kata. Aku berlalu dan bergegas mandi agar pikiran serta badan kembali segar. Kemudian, aku kembali menghampiri Umi yang kini tengah merangkai uang untuk mahar keduaku.
“Umi ….” Seketika, lidah terasa kelu dan tenggorokan pun kering.
“Hem ….” Umi menjawab tanpa menoleh. Perhatiannya masih tertuju pada gulungan-gulungan uang itu.
Hening tercipta beberapa saat. Umi pun menoleh karena aku tidak segera melanjutkan ucapan.
“Kenapa, Mal?”
“Hem … kalau pernikahannya dibatalkan saja, gimana?” ucapku lirih. Namun, sorot mataku lurus ke arah Umi.
Sontak, raut wajah Umi berubah. “Kamu jangan kekanak-kanakan, Mal. Kamu itu sudah 30 tahun. Jangan bikin Umi malu. Diah sudah menerima lamaran itu!”
Aku memalingkan wajah, tak mampu lagi memandang mata Umi yang marah. Tarikan napasku pun terasa berat. Kemudian, aku menunduk.
“Ikmal menyukai gadis lain, Umi,” ucapku. “Ikmal nggak mau Diah terluka nantinya.”
“Kenapa baru ngomong sekarang? Kemarin-kemarin kamu bilang belum punya calon, makanya Umi cariin.” Umi menghela napas kasar, lalu menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa.
“Ikmal juga baru ketemu gadis itu semalam. Dia cinta pertama Ikmal sejak SMA.”
Tampak dahi Umi mengernyit. “Semalam kan kamu lamaran? Memangnya kamu ketemu gadis itu di mana?”
“Di acara lamaran itu, Umi,” jawabku.
Hening kembali tercipta. Tampak alis Umi kembali bertautan. Sepertinya, Umi penasaran.
“Ikmal menyukai Tari.”
“Hah?”
Umi memang pantas untuk terkejut. Tari adalah adiknya Diah. Lebih tepatnya, dia calon adik iparku.
--selesai—
Penulis: Dini Verita
*Telah dibukukan dalam buku "Bentang Dua Arah"
Pilar Pustaka, 2021
Posting Komentar
Posting Komentar