Cerpen: Haid Pertama Nathalie di Rumahku

Posting Komentar
Matahari telah melewati puncaknya, pertanda putri sulungku akan segera pulang dari sekolah. Ia masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. Kebetulan sekarang hari Kamis, sesuai jadwal yang telah ditentukan pihak sekolah, para siswa memakai seragam batik merah dengan bawahan berwarna putih.

Setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, Nisa masuk ke rumah. Ternyata, ia membawa seorang teman, namanya Nathalie. Gadis berpostur tinggi besar dengan warna kulit sedikit hitam, serta rambut kribo keturunan Papua.

“Selamat siang, Tante,” sapanya diiringi senyum, lalu mencium punggung tanganku.

Aku menjawab salam, lalu mempersilakannya duduk di ruang tamu. Kemudian, aku berbalik ke dapur menyiapkan makan siang.

“Nis, ajak Nathalie makan!” seruku.

“Iya, Bun. Sebentar, Nisa masih ganti baju.”

Aku selesai menata piranti makan, ketika Nisa keluar kamar.

“Yuk, Nat, makan dulu!” ajaknya.

“Eh, iya.” Kulihat Nathalie menggigit bibir.

“Enggak usah malu, Nat. Anggap aja rumah sendiri,” ujarku.

Nathalie mengangguk pelan. Sekilas senyum menggantung di bibirnya. Ia berdiri, lalu berjalan perlahan menuju ruang tengah.

Jalannya sedikit aneh, dengan kedua paha yang seperti menempel.

“Nathalie pingin pipis?” tanyaku dengan dahi mengernyit.

“Enggak, Tan.”

Aku masih mengamati caranya berjalan, hingga ia melewatiku. Tiba-tiba, mataku tertuju pada noda merah yang mengering di rok bagian belakangnya.

“Nathalie, kamu sudah haid?” Aku segera menyentuh bahunya.

“Enggak tau, Tante.” Ia menjawab pelan.

Nisa yang sudah duduk hendak mengambil nasi, seketika menghampiri kami. “Haid itu apa, Bun?”

Aku menghela napas sejenak. Kemudian, kuperlihatkan noda merah itu pada Nisa.

“Ih, apa itu?” Nisa hampir saja berteriak, entah karena kaget atau jijik. Kulihat matanya sedikit melotot. “Kamu sakit, Nat? Pantesan dari tadi di sekolah, kamu enggak semangat. Duduk terus, enggak mau keluar kelas.”

“Ini namanya haid, Sayang. Darah yang keluar dari rahim melalui vagina.” Aku berusaha menjelaskan sesederhana mungkin agar bisa mereka pahami. “Nathalie enggak pake pembalut?”

Gadis itu hanya menggeleng.

“Nathalie ke kamar mandi dulu, yuk! Tante bantu membersihkannya.”

Nathalie terdiam, raut wajahnya menunjukkan keraguan.

“Enggak usah malu, Tante juga perempuan. Ayo, sekalian Tante ajari pake pembalutnya!” Aku sedikit memaksa dengan menarik lengan kirinya menuju kamar mandi.

Kutinggalkan Nathalie sejenak, bergegas masuk kamar mengambil celana dalam dari lemari serta dua pembalut. Kutawarkan padanya, hendak memakai pembalut sekali pakai atau pembalut kain yang bisa dicuci ulang.

Nathalie memilih pembalut sekali pakai dengan sayap di kedua sisinya. “Pakainya gimana, Tan?”

Perlahan tangan dan mulutku bergerak, mengajarinya memasang kapas putih beraroma herbal itu agar pas menempel pada celana dalam. Nathalie dan Nisa tampak memperhatikan.

“Sekarang, ganti celanamu!” Aku menyuruhnya masuk kamar mandi.

Beberapa menit setelah aku dan Nisa menunggu, akhirnya Nathalie keluar.

“Celana dalam yang kotor, diapain, Tan?” tanyanya.

“Dicuci,” jawabku datar.

“Jijik, Tan.” Wajahnya berubah masam.

“Itu hanya darah kotor. Masuk kamar mandi lagi!” Kuputar tubuhnya yang lebih besar dari tubuh mungilku.

Nathalie melakukan gerakan perlahan sesuai instruksiku. Membuka keran air, lalu menjinjing celana kotornya. Sejenak ia melihat ke arahku. Aku memberi isyarat dengan anggukan pelan dan senyuman manis.

“Tante … jijik!” serunya.

“Dah, celananya taruh di atas kloset. Kencengin aja airnya, biar sisa darah yang menempel di situ bisa hanyut.”

Tangan kanan Nathalie memegang slang, sedangkan tangan kirinya memegang celana. Air mengalir deras, menyisakan sedikit noda merah yang sudah mengering sebelumnya.

“Terus, gimana, Tan?” tanyanya.

“Kucek!”

Kulihat wajah masam itu untuk kesekian kalinya. Kemudian, kusodorkan sabun colek beraroma jeruk segar serta potongan kecil sabun batang.

Nathalie mengucek perlahan, hingga celananya terlihat bersih. Ada seulas senyum yang menyungging di bibirnya.

“Udah bersih, Tante!” soraknya girang.

Aku tersenyum, seraya mengayunkan kedua jempol tanganku ke arahnya. Kuberikan gantungan baju untuk menjemur celana itu.

“Sekarang cuci tangan sampai bersih! Kita makan siang,” ujarku sambil merangkul bahunya.

Gadis itu mengangguk, bergegas menuju wastafel, lalu duduk bersamaku dan Nisa di ruang tengah.

Piranti makan berdenting. Nathalie dan Nisa tampak lahap, sembari bercerita tentang kejadian di sekolah. Usai makan, obrolan kami berlanjut di sofa.

“Mulai kapan, haidmu keluar, Nat?” tanyaku lembut.

“Dari semalem, Tante.”

“Kamu enggak ngomong Eyang?” Aku membenahi posisi duduk, ingin mendengarkan dengan seksama.

“Malu, Tan. Eyang kan cowok.”

“Terus, celana kotor yang semalem kamu pake, diapain?” Aku bertanya lagi, penasaran.

“Aku buang, Tan,” jawabnya polos, sambil cengar-cengir memperlihatkan susunan gigi putihnya.

Aku menepuk jidat. “Dibungkus plastik, enggak?”

“Enggak.”

Aku menghela napas, lalu tersenyum. Aku tak bisa menyalahkannya. Sudah dua tahun ia kehilangan orang tua akibat kecelakaan. Kini tinggal di rumah kecil bersama kakeknya.

“Mulai sekarang, Nathalie harus bisa menjaga diri. Enggak boleh main sembarangan, apalagi sama teman-teman cowok.”

“Emang kenapa, Bun?” Nisa bertanya.

“Karena Nathalie sudah dewasa. Enggak boleh sembarangan pegang-pegang.” Aku diam sejenak, bingung menjelaskan. “Selama haid, Nathalie harus jaga kebersihan badan, ya. Ganti celana dan pembalut sesering mungkin. Apalagi kalo darahnya keluar banyak, pasti rasanya lembab banget.”

Nathalie mengangguk-angguk lagi.

Aku beranjak masuk kamar. Kemudian, muncul dengan membawa sebungkus pembalut bersih di tangan. Berbelok menghampiri kotak obat yang menempel di dinding ruang tengah. “Ini pembalut dan tablet penambah darah buat Nathalie. Jangan lupa diminum, biar kamu tetep segar.”

“Pantesan hari ini dia lemes, Bun. Diajak maen ke taman enggak mau. Meringkuk terus di mejanya,” kata Nisa.

Nathalie menyahut cepat. “Iya, Tan, badanku rasanya enggak enak, pegel-pegel gitu. Perut sakit banget. Terus pinginnya marah, kalo ada teman yang jahil.”

“Orang yang lagi haid memang rata-rata begitu, Nat. Enggak usah khawatir, nanti kalo haidnya udah selesai, rasa sakitnya juga hilang. Banyakin minum air putih, ya.” Aku memberinya saran.

Nisa beranjak menuju kulkas. Setelah diam sejenak, tangannya meraih dua kaleng minuman bersoda. Kemudian, kembali duduk di sofa.

“Minum, Nat!” Ia menyodorkan minuman itu ke arah Nathalie.

“Kalo lagi haid, jangan minum yang bersoda, lebih baik minum air putih!” Aku berseru sambil meraih kaleng soda itu.

“Bunda pelit amat, sih!” Sekarang wajah Nisa yang masam.

“Air soda itu enggak baik. Bisa memperburuk gejala haid, juga mempersempit pembuluh darah, termasuk pembuluh darah di daerah rahim. Itu bisa menyebabkan kram perut.” Aku beranjak mengembalikan kaleng soda itu ke kulkas.

Tanganku cekatan mengambil beberapa buah, lalu menyambar teko air putih yang ada di meja makan. “Nih, Nathalie harus banyak makan buah. Lebih enak dan sehat dibanding soda.”

Nathalie tanpa sungkan lagi mengambil beberapa potongan buah. “Enak, Tan.”

“Jangan lupa, itu penambah darahnya sekalian diminum aja, biar enggak lupa!” seruku.

“Iya, Tan, makasih. Besok kalo Nathalie haid lagi, Nathalie ke sini, ya?”

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Minta buah. Seger, nih, Tan,” ucapnya sambil memasukkan potongan buah terakhir ke mulutnya.

--o--

Penulis: Dini Verita

*Telah dibukukan dalam buku "The First Blood (Tamu Merah Jambu)"
Cleopatra Publisher, 2019 

kisahpisces

Related Posts

Posting Komentar