“Eh, itu ‘kan si Desi? Jalan sama Om-om rupanya.” Laura tersenyum. “Bakal jadi berita bagus, nih, di kampus.”
Malam baru saja beranjak, tetapi suasana pekan raya justru semakin padat oleh pengunjung di hari Sabtu itu.
***
Semester pertama baru berjalan sebulan. Desi yang diterima di salah satu universitas negeri di kotanya, bergegas memasuki kelas untuk mengikuti kuliah umum.
Ada yang tak biasa dengan teman-temannya hari ini. Baru saja dia melangkah masuk, serentetan mata menatapnya dengan senyum menyeringai.
“Wah, mainnya sama om-om, cuy.”
“Iyalah, mana mau sama yang kere kayak kita.”
“Tarif semalem berapa, Neng?”
Perkataan dilontarkan beberapa teman ketika Desi melewati mereka menuju tempat duduknya. Gadis berumur delapan belas tahun itu hanya diam dan menunduk.
Mika sengaja mengambil tempat duduk di sebelahnya. “Beneran, lu jalan sama om-om itu?”
“Om-om mana, sih? Aku kok enggak paham maksud kalian.”
“Foto kamu udah nyebar ke seluruh kelas.” Mika segera membuka galeri foto di ponselnya, lalu memberikannya pada Desi.
“Oh, ini,” ujar Desi datar. “Tiap akhir pekan aku kerja, Mika. Jadi sales promotion girl produk rokok. Ada yang salah?”
Mika menghela napas. “Tapi ‘kan enggak harus centil gini sama om-om.”
Desi tersenyum menatap foto itu. Gadis berpostur tinggi semampai itu berusaha menahan emosi, meski dia tahu ada beberapa foto dirinya yang diedit.
Sudah tiga bulan foto itu beredar. Kini, tak hanya satu kelas yang mengetahuinya, melainkan seluruh penghuni kampus. Berbagai cibiran dari beberapa mahasiswi senior, juga godaan dari teman-teman prianya mulai ditujukan pada Desi.
Desi hanya tersenyum dan beristigfar sambil mengelus dada. Hatinya ingin menjerit, tetapi dia sadar itu tidak menyelesaikan masalah dengan cepat.
***
Ponselnya berdering dari sebuah nomor tak dikenal. Setelah memberi salam dan menanyakan keperluan si penelepon, Desi bergegas mengambil kontak motor dan melajukan motornya.
Dia tiba di sebuah resto bergaya etnik. Seseorang sudah menunggunya di gazebo kecil tepat di sudut taman resto itu.taman.
Desi memberi salam. Sesosok pria berumur hampir tiga puluh tahun mempersilakannya duduk.
“Beli satu slop enggak dapat bonus, Mbak Desi?” tanya pria itu sedikit menggoda.
“Kan udah dapat kortingan, Om,” jawabnya sambil memasukkan uang pembayaran ke dalam tas. “Saya pamit dulu, Om. Terima kasih, lain kali bisa menghubungi saya lagi jika rokoknya sudah habis.”
“Eits, tunggu dulu.” Tangan kekar itu menahannya. “Temani saya makan siang.”
Desi berusaha melepas genggaman itu. Matanya menatap tajam pria di hadapannya muda itu dengan dada yang mulai sesak dan napas yang memburu.
“Maaf, tugas saya hanya mengantar pesanan Anda. Saya harus bersiap-siap untuk event nanti sore.”
Setelah menghentakkan tangan itu, Desi berlari menuju parkiran. Gadis cantik itu segera meluncur ke tempat acara.
Suasana mall mal sedikit mendinginkan kepalanya. Desi selalu menantikan akhir pekan seperti ini. Berjejer dengan beberapa mobil mewah untuk menarik minat pengunjung.
Mika yang saat itu sedang berjalan-jalan di lantai II, segera turun ketika melihat Desi berada di lantai dasar.
“Udah pindah kerja, Des?” Mika mencoleknya dari belakang.
“Eh, hai. Enggak juga, ini masih satu manajemen, kok.”
“Jangan lupa belajar, ujian akhir semester sebentar lagi, lho.”
Desi tersenyum dan mengangguk. Dia kembali bekerja.
Sosok pria yang ditemui di resto siang tadi muncul di hadapannya. Sejenak Desi menghela napas untuk menahan emosi. Menyapa pria itu dengan ramah, seolah tak terjadi apa-apa dengan mereka.
Pria itu membalas senyumannya. Tak lama kemudian, mereka terlibat percakapan tentang otomotif.
“Maaf, tentang kejadian tadi siang. Namaku Dani, mungkin suatu saat, kita bisa bertemu lagi,” ucap pria itu mengakhiri pertemuan.
***
“Hebat si Desi, bisa dapetin om-om tajir,” sindir Laura ketika Desi melintas di depannya.
Desi menghentikan langkahnya. “Memangnya enggak boleh, kalo aku pacaran sama om-om?”
“Udah berani bales dia.” Laura berdiri dengan senyum menyeringai tersungging di bibirnya.
“Terima kasih, ya, Ra, kamu sudah sebegitu perhatiannya sama aku, sampai masalah pribadiku pun kamu ingin tahu.” Desi tersenyum, lalu berbalik badan hendak meninggalkan Laura.
“Kamu—“ Tangan Laura menjambak rambut panjangnya.
Desi merintih kesakitan. Beberapa teman yang melihat berusaha melerai.
“Inget, ya, kami enggak suka ada mahasiswi nakal di kampus ini!.” Laura menggertak.
Desi berusaha menahan matanya yang mulai memanas.
“Siapa yang nakal? Aku hanya bekerja dan itu tidak merugikan kalian, ‘kan?” ujar Desi dengan geram.
Gadis itu tak kuat lagi menahan kaca-kaca di pelupuk matanya. Dia bergegas menuju toilet dan menangis di sana.
Peristiwa lima bulan yang lalu kembali hadir di benaknya. Kecelakaan tabrak lari yang menimpa orang tuanya, membuat Desi harus bekerja keras menanggung biaya sekolah dan kehidupan dua adiknya. Padahal waktu itu, dia baru saja berbahagia karena diterima di kampus ini.
Tawaran pekerjaan dari tetangga rumahnya untuk menjadi sales promotion girl, tak Desi tampik. Orang tuanya hanya meninggalkan warisan sebuah rumah sederhana yang selama ini mereka tempati.
***
Sebuah mobil mewah berhenti di depan rumahnya. Desi yang sedang belajar bersama kedua adiknya, mengintip dari balik jendela. Ia melihat sosok sedikit tambun keluar dari pintu mobil itu.
Desi membuka daun pintu utama, lalu memberi salam dan mempersilakan Dani duduk di teras depan.
“Enggak boleh masuk, ya?” Dani bertanya.
“Maaf, Om.” Desi menjawab sembari tersenyum. “Ada perlu apa, malam-malam ke sini?”
“Saya hanya ingin berkunjung.”
“Oh. Tapi maaf, saya sedang belajar. Besok ada ujian akhir semester.”
Dani mengangguk-anggukan kepala sembari menggigit bibir bawahnya. “Oh, ya, kalo kamu butuh bantuan untuk biaya kuliah dan sekolah adikmu, kamu bisa menghubungi saya.”
“Terima kasih atas tawarannya. Tapi untuk saat ini, saya masih bisa membagi waktu untuk kuliah dan bekerja.”
“Atau, gini aja. Kalo indeks prestasi kamu di atas 3, saya akan memberimu beasiswa untuk satu semester ke depan. Bagaimana?”
Desi diam sejenak. Tawaran itu cukup adil baginya.
“Boleh juga, Om.”
“Jangan panggil saya om. Satu lagi, saya belum menikah.”
***
Ujian semester berlangsung dua minggu. Namun, hal itu tak menghalangi Desi untuk tetap bekerja di akhir pekan. Profesionalisme dalam bekerja kini menjadi salah satu moto hidupnya.
Transkrip nilai telah ia terima. Perjuangannya selama hampir enam bulan ini tidak sia-sia. Nilainya jauh di atas prediksi.
Dani mendapat info dari keponakannya, kalau hari ini jadwal pengambilan transkrip nilai di universitas tempat Desi menuntut ilmu. Dia segera mengirim pesan pada gadis yang mulai menumbuhkan benih-benih asmara di relung hatinya itu.
[Foto transkrip nilai itu, lalu kirim ke saya]
Desi mengirim foto itu dengan bangga. Predikat cumlaude berhasil dia raih setelah melalui berbagai cibiran.
Di tempat lain, di resto etnik tempat Dani biasa bersantap siang. Pria itu menerima pesan balik dari Desi dan memperlihatkannya pada Laura.
“Kamu kalah jauh dari dia, Ra,” ujar Dani sambil mengelap mulut dari sisa makanan yang menempel.
“Dia hanya beruntung, Om.”
“Enggak, Ra, dia memang anak yang cerdas dan berpendirian kuat. Om salut sama dia.”
“Jangan bilang kalo Om mulai suka sama Desi, ya?” cecar Laura. “Aku enggak mau Desi jadi tanteku. Malu, dong, Om. Aku udah mengedit dan menyebarkan fotonya waktu itu.”
“Makanya, selidiki dulu, jangan gegabah membuat gosip. Untung Desi enggak mengusut kasus ini. Coba kalo dia sampai tau, kamu enggak bakal makan siang sama Om Dani hari ini.”
Laura menunduk dan menyesali perbuatannya. Dia menyeka air mata yang hampir menetes.
“Sudah, enggak usah nangis. Nanti Om anter ke rumah Desi, ya?” ajak Dani.
“Buat apa?” Laura mengernyitkan dahi.
“Kita sama-sama minta maaf, bahwa selama ini Om juga berusaha merayunya atas permintaan kamu, keponakan Om satu-satunya. Enggak usah gengsi karena kita memang salah.”
--o--
Penulis: Dini Verita
*Telah dibukukan dalam buku "How Dare You"
Pena Kreatif Publishing, 2019
Posting Komentar
Posting Komentar