Cerpen: Perjuangan Cinta Al-Hibbu

Posting Komentar
Namanya Zaid bin Haritsah, berasal dari suku Bani Mu’in dengan ibu bernama Su’da binti Tsa’labah. Zaid adalah seorang budak yang dibeli seharga 400 dirham oleh Hakim bin Hazm bin Khuwailid, untuk dihadiahkan kepada bibinya, Siti Khadijah bin Khuwailid.

Setelah Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad, Zaid dihadiahkan kepada beliau. Lama-kelamaan, hubungan antara Nabi Muhammad dengan Zaid menjadi sangat akrab dan saling menyayangi, meskipun Zaid berstatus sebagai budak dan Nabi Muhammad sebagai tuannya.

Berita tentang Zaid yang berada bersama Nabi Muhammad, akhirnya didengar oleh ayah Zaid yang memang sedang mencari anaknya. Namun ternyata, Zaid lebih memilih tinggal bersama Nabi Muhammad.

Semenjak itulah Nabi Muhammad memproklamasikan Zaid sebagai anak angkat dengan nama Zain bin Muhammad. Zaid kemudian mendapatkan julukan Al Hibbu yang berarti kecintaan Rasulullah.

Selang beberapa lama, Nabi Muhammad hendak menikahkannya dengan Zainab binti Jahsy, seorang perempuan dari keluarga yang terpandang dan cantik parasnya.

“Ya Rasulullah, apakah Engkau tidak salah, akan menikahkanku dengan Zainab? Aku hanyalah seorang budak, sedangkan ia dari keluarga terpandang.” Zaid mengutarakan kerisauan hatinya. “Apakah ia akan menerimanya?”

“Wahai Zaid, tenangkanlah hatimu. Aku akan menemui dan melamarnya untukmu.”

Rasulullah pun datang ke rumah Zainab binti Jahsy guna melamarnya untuk Zaid. Namun, Zainab menolak lamaran ini dengan berkata, “aku tidak mau menikah dengannya.”

“Tidak, kamu harus menikah dengannya,” sabda Rasulullah.

Zainab binti Jahsy tidak terima dengan keputusan Rasulullah, ia pun berujar dengan geram, “wahai Rasulullah, apakah Engkau mengatur diriku?”

Namun, ketika keduanya sedang berbincang, Allah menurunkan firmannya:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. “(QS. Al Ahzab: 36)

Akhirnya Zainab binti Jahsy bertanya, “wahai Rasulullah, apakah Engkau rela menikahkan dia denganku?”

“Ya, aku akan menikahkanmu dengannya,” jawab Rasulullah.

“Kalau demikian, aku tidak akan menentang perintah Rasulullah. Aku rela dinikahkan dengannya,” ujar Zainab binti Jahsy dengan sedih.

Rasulullah kemudian melangsungkan pernikahan keduanya dengan maskawin sepuluh dinar, enam puluh dirham, kain kerudung, milhafah (kasur), sebuah baju besi dan lima puluh mud kurma.

***

Kurang lebih setahun lamanya Zaid menikah dengan Zainab binti Jahsy berjalan. Zaid mencoba menjadi pemimpin rumah tangga. Zainab pun belajar untuk menjadi istri yang baik. Lalu, badai itu pun datang tak tertahankan.

“Kamu tahu, Zaid, aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Hanya karena Rasulullah, aku mau menjalaninya. Aku adalah seorang bangsawan, berbeda denganmu yang hanya seorang budak, derajatku lebih tinggi darimu,” kata Zainab binti Jahsy di puncak kesabarannya.

“Mengapa kau selalu mengungkit hal itu? Bukankah, kita adalah satu sekarang? Seharusnya engkau tak berbicara seperti itu pada suamimu.” Zaid berusaha bersabar meski memendam bara dalam hati.

Zainab terus membanggakan kehormatan dirinya di atas Zaid. Zaid selalu mendengar hal-hal yang tidak disukai darinya.

Kemudian, Zaid pun mendatangi Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Zainab berlisan keras terhadapku dan aku ingin menceraikannya.”

Rasulullah menasihatinya dengan bersabda, “tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.”

“Ya Rasulullah, aku sudah tidak sanggup bersamanya. Lisannya telah melukai hatiku.”

Maka, perpisahan itu pun tak terelakkan. Zaid dan Zainab bercerai.

***

Setelah masa idah Zainab binti Jahsy selesai, turunlah firman Allah:

“Dan ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang telah Allah limpahkan nikmat kepadanya dam kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya. Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah. Sedangkan, kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS Al Ahzab: 37)

Rasulullah akhirnya bersabda kepada Zaid. “Pergilah kamu dan ceritakanlah kepada Zainab tentang diriku.”

“Ya Rasulullah, mengapa Engkau memintaku untuk menemuinya, di saat aku bukan lagi mahram baginya?” tanya Zaid.

“Aku akan menikahinya atas perintah Allah, sebagai pembeda hukum Islam dengan hukum orang jahiliah di sini.”

Zaid pun beranjak menemui Zainab yang saat itu sedang membuat adonan roti. Perasaan cintanya terhadap Zainab tak berubah, meski keadaan telah berbeda.

“Ya Allah, dia masih secantik dulu, tapi aku tak bisa memiliki hatinya.” Zaid bergumam lirih.

Zaid tidak kuasa memandangnya, hingga ia pun memalingkan punggung seraya berkata, ”wahai Zainab, bergembiralah, Rasulullah telah mengutusku untuk menyampaikan kepadamu, bahwa beliau menyebut-nyebut namamu.”

Zainab menjawab, “aku tidak akan melakukan suatu tindakan apa pun sebelum beristikharah kepada Tuhanku.”

Zainab pun masuk masjid untuk beristikharah. Kemudian, Zaid melihat Rasulullah menemui mantan istrinya itu.

Hatinya terluka, namun Zaid bin Haritsah sangatlah sabar dalam menjalani ujian perasaan ini. Ternyata, Allah punya skenario yang lebih baik dibalik kesabaran yang telah dilakukan oleh Zaid. Nama Zaid dimasukkan dalam Al Quran dan menjadi satu-satunya sahabat yang namanya diabadikan di dalam Al Quran. Allah memberikan pahala kepada siapa pun yang membaca nama Zaid di dalam Al Quran. Sungguh keutamaan yang sangat besar diberikan Allah kepada Zaid.

Kemudian, Rasulullah memerdekakan Zaid seraya bersabda, “wahai Zaid, aku akan sangat bahagia jika engkau mau menikah dengan ibuku. Dia yang telah mengasuhku sejak aku masih kecil.”

“Apakah ibu Rasulullah bersedia menikah denganku? Meskipun aku sudah merdeka, namun dulu aku seorang budak.” Zaid tak ingin gagal lagi dalam membina rumah tangga. Ia ingin mendapatkan perempuan yang bisa menerima dirinya apa adanya.

“Dia seorang ibu yang baik dan bijaksana. Aku yakin, ibu akan menyetujui pernikahan ini.”

Zaid diam sejenak. “Baiklah, jika itu memang takdir dari Allah, aku akan menerimanya.”

Rasulullah tersenyum, kemudian beranjak menemui ibu susuannya, Barakah bin Tsa’labah. “Ibu, menikahlah dengan Zaid Bin Haritsah. Dia laki-laki yang baik dan aku sangat menyayanginya.”

“Aku jauh lebih tua darinya. Apakah dia mau menerimaku?” tanya Barakah.

“Jika Ibu mau menerimanya, Zaid pun akan setuju.”

“Zaid memang laki-laki yang baik. Dia orang yang penyabar dan tetap setia kepadamu, meski Engkau menikahi Zainab, mantan istrinya.” Barakah menimbang-nimbang perasaannya. Tawaran itu datang langsung dari Rasulullah, berarti itu pula kehendak Allah. “Baiklah, Ibu akan menyetujuinya.”

Akhirnya, Zaid pun menikah dengan Barakah binti Tsa’labah sebagai pengganti Zainab binti Jahsy. Barakah merupakan pengasuh Rasulullah yang usianya terpaut jauh dari Zaid bin Haritsah. Barakah sudah pernah menikah dan memiliki seorang putra bernama Aiman.

***

“Wahai istriku, Barakah Ummu Aiman, terima kasih telah bersedia menjadi pendamping hidupku. Mari kita bersama-sama berjihad di jalan Allah. Aku tahu, engkau selalu menemani Rasulullah di medan perang, maka, aku pun tak akan melarangmu untuk tetap ikut berperang,” kata Zaid.

“Terima kasih, engkau pun mau menerima perempuan tua ini menjadi istrimu. Jika aku melakukan kesalahan, tegurlah aku. Kini, surgaku ada bersamamu.”

Dari pernikahan itu, lahirlah Usamah bin Zaid yang sangat disayangi oleh Rasulullah. Kelak, Usamah bin Zaid akan menjadi Panglima Perang melawan Romawi ketika ia berumur kurang dari dua puluh tahun dan berhasil menaklukkan Romawi dengan kemenangan yang gemilang.

Maha Suci Allah yang telah memberikan skenario-skenario terbaik untuk hambanya. Ada kelapangan di balik kesempitan ujian hidup yang kita dapatkan. Maka, kita hendaknya selalu berprasangka baik terhadap segala ketentuan Allah seperti Zaid bin Haritsah.

--o--

Penulis: Dini Verita

*Telah dibukukan dalam buku "Sahabat Terbaik Nabi"
Pena Kreatif Publishing, 2019

kisahpisces

Related Posts

Posting Komentar